Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Pulang

5 Oktober 2017   12:02 Diperbarui: 6 Oktober 2017   01:11 3394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : Elegant Woman Wait at Autumn Park /securefootage.shutterstock.com

Pulang adalah panggilan jiwa. Sejauh apa pun kau pergi, berpetualang atau merantau, suatu hari pasti rindu pulang. Itu yang tengah menderaku akhir-akhir ini. Aku ingin pulang. Pulang ke kampung halamanku, berhambur ke pelukan kedua orang tuaku--itu pun jika mereka masih ada dan masih mau menerimaku.

Masih ada? Ya, aku tidak yakin kedua orang tuaku masih ada, masih hidup. Sebab ketika aku pergi dua tahun lalu, mereka terlihat begitu renta dan sakit-sakitan.

Malam usai mengemasi barang-barang---yang perlu-perlu saja, aku menghadap induk semang untuk pamit.

"Sudah kau pikirkan baik-baik keputusanmu?"

"Sudah."

"Baiklah. Aku hanya bisa mendoakan, semoga kepulanganmu berjalan lancar."

Hanya itu. Tidak ada percakapan lagi. Tapi aku merasa senang, setidaknya masih ada orang lain yang bukan siapa-siapaku, sudi mendoakanku.

Malam itu aku benar-benar mempersiapkan diri untuk pulang. Pulang menuju rumah tinggalku yang sederhana. Yang dindingnya, dulu saat kutinggalkan hanya terbuat dari anyaman bambu. Juga belum tersambung listrik di dalamnya.

"Kau tidak harus pergi jauh untuk mendapatkan pekerjaan, Tri," tukas Ayah---kala itu, mencoba mempengaruhiku. Tapi tekadku sudah bulat, meninggalkan rumah adalah pilihan terbaik. Iming-iming bekerja di kota besar dengan gaji menggiurkan membuatku mengabaikan segala bujuk rayu. Termasuk airmata Ibu.

"Kalau kau pergi, siapa yang akan merawat kami? Setidaknya merawat pekuburan kami---" isak Ibu di sela-sela waktu keberangkatanku. Aku hanya diam. Tidak memiliki jawaban sepatah kata pun.  

Perjalanan melelahkan berjam-jam duduk di dalam kereta terbayar sudah. Aku sampai di tanah kelahiran ketika hari beranjak siang. Aku memilih berjalan kaki, meski dengan langkah terseok akibat salah mengenakan sepatu. Harusnya aku tidak memakai sepatu high heels.

Banyak yang berubah. Jalan setapak menuju kampung sudah diperlebar dan berlapis aspal. Tegal dan sawah yang dulu ijo royo-royo beralih rupa menjadi area perumahan.

Kukira bukan lingkungannya saja yang berubah. Manusianya juga. Tidak lagi kulihat Ibu-ibu setengah umur dengan dada hanya tertutup kutang duduk berderet di depan rumah berlomba mencari kutu atau mencabut uban. Yang tertangkap oleh mataku justru Ibu-ibu muda asyik memainkan gawai, acuh tak acuh. Bahkan terhadap anak-anak mereka sendiri yang berlarian tak tentu arah ke sana ke mari.

Aku mendengus. Tak satu pun dari mereka---Ibu-ibu muda itu yang kukenal. Atau sebenarnya merekalah yang tidak mengenaliku?

"Tri!"

Aku menoleh. Seseorang berlari-lari mengejarku. Oh, ternyata ada juga yang masih ingat padaku, tidak pangling.

"Tri! Aku yakin ini pasti kau!"

"Iya Mbak Ning, aku Tri..." aku mundur beberapa langkah. Merasa rikuh---teramat rikuh. Apalagi ketika orang yang kupanggil Mbak Ning itu menatapku tak berkedip dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Tri...kau benar-benar melakukannya?" Mbak Ning akhirnya mengerjapkan mata, seolah tidak percaya. Aku mengangguk.

"Mbak, apakah Ayah dan Ibu...."

"Mereka sudah meninggal, Tri. Pergilah ke sana, ke makam kedua orang tuamu," Mbak Ning masih menatapku. Kukira ia agak shock melihat penampilanku yang sekarang.

Aku meninggalkan Mbak Ning, melanjutkan langkah menuju area pemakaman yang tidak terlalu jauh.

Di atas pusara Ayah dan Ibu yang letaknya berdampingan, aku duduk terpekur. Usai memanjatkan doa-doa aku menyampaikan kabar---entah kabar baik entah bukan, aku tidak peduli.

"Ayah, Ibu, maafkan Tri baru bisa pulang hari ini. Tri harus mengumpulkan duit banyak untuk melakukan operasi transgender---agar tidak ada lagi yang mengolok-olok Tri sebagai laki-laki banci."  

Aku mengeluarkan KTP dari dalam dompetku. Kutunjukkan dengan bangga di atas pusara Ayah dan Ibu.

Namaku sekarang Lastri. Bukan Triman.

***

Malang, 05 Oktober 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun