Banyak yang berubah. Jalan setapak menuju kampung sudah diperlebar dan berlapis aspal. Tegal dan sawah yang dulu ijo royo-royo beralih rupa menjadi area perumahan.
Kukira bukan lingkungannya saja yang berubah. Manusianya juga. Tidak lagi kulihat Ibu-ibu setengah umur dengan dada hanya tertutup kutang duduk berderet di depan rumah berlomba mencari kutu atau mencabut uban. Yang tertangkap oleh mataku justru Ibu-ibu muda asyik memainkan gawai, acuh tak acuh. Bahkan terhadap anak-anak mereka sendiri yang berlarian tak tentu arah ke sana ke mari.
Aku mendengus. Tak satu pun dari mereka---Ibu-ibu muda itu yang kukenal. Atau sebenarnya merekalah yang tidak mengenaliku?
"Tri!"
Aku menoleh. Seseorang berlari-lari mengejarku. Oh, ternyata ada juga yang masih ingat padaku, tidak pangling.
"Tri! Aku yakin ini pasti kau!"
"Iya Mbak Ning, aku Tri..." aku mundur beberapa langkah. Merasa rikuh---teramat rikuh. Apalagi ketika orang yang kupanggil Mbak Ning itu menatapku tak berkedip dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Tri...kau benar-benar melakukannya?" Mbak Ning akhirnya mengerjapkan mata, seolah tidak percaya. Aku mengangguk.
"Mbak, apakah Ayah dan Ibu...."
"Mereka sudah meninggal, Tri. Pergilah ke sana, ke makam kedua orang tuamu," Mbak Ning masih menatapku. Kukira ia agak shock melihat penampilanku yang sekarang.
Aku meninggalkan Mbak Ning, melanjutkan langkah menuju area pemakaman yang tidak terlalu jauh.