Kedatangan kami disambut oleh payung berwarna-warni yang menggantung. Beberapa rumah pohon tampak dipenuhi oleh pengunjung untuk tempat berselfi-ria. Di sana disediakan juga jasa kuda yang akan mengantar pengunjung berkeliling hutan sebagai pengganti kendaraan bermotor. Tapi saya enggan memanfaatkannya karena terus terang, saya tidak sampai hati melihat sosok kuda bertubuh kurus dan ternyata setelah saya tanyakan kepada pemiliknya, kuda itu berjenis kelamin perempuan. Jadilah saya hanya berfoto ria di samping kuda coklat bernama Gendis itu.
Kawasan ini tidak terlalu jauh dari wahana HPS. Hari sudah gelap ketika kami sampai di Winong. Suasana hutan sudah sepi. Tapi masih tampak beberapa anak muda yang bertugas jaga di pos parkir.
Anak lanang menghentikan motor dan saya siap membayar ongkos parkir seperti sebelum-sebelumnya. Tapi Mas-mas penjaga itu menolak.
"Silakan melihat-lihat, langsung saja."
Tentu saja hal ini membuat saya berkerut kening. Usai berkeliling area, saya sempatkan bertanya ini itu kepada anak-anak muda yang teryata mereka adalah para kader Karang taruna desa setempat.
"Sudah lama wahana ini ada, Mas?" saya bertanya bak seorang wartawan.Â
"Baru tiga bulan. Kami diberi mandat untuk mengelola wahana wisata ini oleh sesepuh desa," tutur Wiyatno, salah satu kader Karang Taruna itu. Ketika saya tanyakan mengapa tidak menggaet investor untuk bekerjasama, mengingat  Hutan Pinus Winong letaknya cukup strategis dan berpeluang bagus sebagai wahana wisata pilihan, Wiyatno menjawab,"tidak diperbolehkan. Sesepuh desa ingin kami mengelolanya sendiri. Murni oleh warga sendiri. Meski dampaknya perkembangannya menjadi sangat lamban."
Saya dan anak lanang hanya bisa manggut-manggut mendengar penuturan mas Wiyatno. Baiklah, terserah deh, Mas. Mau dikelola investor atau dikelola sendiri, yang penting ekplorer hutan, khususnya hutan pinus sebagai wahana wisata tetaplah merujuk pada upaya melestarikan lingkungan alam.
Malang, 02 Oktober 2017