"Masih bisa ditolong tidak? Dioperasi misalnya...."
"Bisa. Akan segera dilakukan."
Suara-suara itu membuatku takut. Siapa yang akan dioperasi? Aku?Â
Kusampaika kegelisahanku pada Liony.
"Jangan takut. Kau seharusnya merasa senang. Sebentar lagi kau akan bisa melihat warna-warna indah selain warna hitam," Liony menyemangatiku. "Kau juga akan segera tahu betapa cantik Ibumu."
Mendengar kata-kata Liony, hatiku tenang. Ketika sebuah tangan membawaku ke suatu tempat dan menyuntikkan obat bius di sekitar mataku, aku sama sekali tidak berontak. Aku menurut, sebab aku ingin segera bisa melihat sosok Ibu. Terutama wajahnya yang cantik, seperti yang kerap dikatakan Liony.
"Operasi berhasil dengan baik!" suara itu mengagetkanku. Aku terbangun dari tidurku. Sekelilingku tak lagi terlihat gelap.Â
"Mana Ibuku?" mata baruku mengerjap-ngerjap. Silau.
"Aku di sini, Nak," satu ciuman mendarat lembut di keningku. Aku terperangah. Menatap wajah Ibu setengah tidak percaya.
Ibuku, ternyata---ia memiliki moncong.Â
Liony juga.