Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Surat Tapol yang Tak Pernah Sampai

23 September 2017   13:02 Diperbarui: 23 September 2017   13:07 1572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Daniel berulang kali menyentuh lipatan kertas yang ia sembunyikan di balik sabuk gespernya, meyakinkan bahwa benda berisi oret-oretan cakar ayam itu masih ada.

Beberapa jam lalu saat apelpagi,seorang sipir sempat memeriksa dan meraba-raba pinggangnya. Ketika tangan sipir itu sampai pada sesuatu yang menggunduk di balik sabuk gespernya, Daniel buru-buru berkilah,"kertas kobot, untuk tingwe."

Entah karena lelah atau bosan setiap hari wajib menggerayangi tubuh-tubuh kurus para tahanan, sipir itu tak bereaksi. Ia berlalu meninggalkan Daniel dan melanjutkan pemeriksaan selanjutnya. Ada dua tiga tahanan yang berdiri berjejer, menunggu giliran.

Saat paling baik bagi Daniel untuk membaca ulang tulisannya yang belum rampung adalah di jam-jam seperti ini, di mana para tahanan dibebaskan untuk berjemur matahari. Daniel meraih pensil yang terselip di atas cuping telinganya. Usai menengok kanan kiri dan dirasa kondisi memungkinkan, ia merogoh sabuk gespernya lagi, meraih lintingan kertas, membukanya hati-hati lalu membacanya pelan-pelan. Kadang ia harus berhenti sejenak untuk menambahkan beberapa kalimat yang dirasanya perlu.

Kepada: Kastamoen, teman seperjuanganku

Moen, piye kabarmu di sana? Apakah suasana di luar aman terkendali?

Moen, kondisiku di sini baik-baik saja. Malah boleh dibilang---aku, mungkin adalah satu- satunya Tapol yang masih bertahan dengan kondisi prima di pulau pengasingan ini. Sebab beberapa teman banyak yang meninggal, tewas secara mengenaskan, kejang-kejang mengeluarkan darah dari lubang hidung dan kupingnya. Bukan karena popor senapan, Moen, seperti yang sering kita bayangkan, melainkan karena gigitan nyamuk ganas. Malaria.

Moen, kalau tidak keliru ini sudah tahun ke-50 sejak aku diciduk dan dituduh sebagai pengikut partai terlarang itu. Padahal apa sih yang kita lakukan saat itu? Kita hanya main Ludruk, memainkan seni peran hiburan wong cilik dari panggung ke panggung.

Kau pasti masih bisa mengingatnya, kan, Moen? Malam di mana kita sedang melakonkan sebuah cerita tentang kisruh negara pasca peristiwa 1965 itu. Ujug-ujug pas aku lagi ngidung parikan, beberapa petugas menggerebek panggung dan menangkap hampir semua laki-laki yang tergabung dalam seni ludruk binaanku. Dirimu bisa lolos karena saat itu kebetulan didaphuk dadi wong  wadhon, menjadi seorang perempuan. Mungkin itu sudah takdirmu, ya, Moen. Gerak tubuhmu yang luwes dan kemayu saat memerankan tokoh perempuan, berhasil menyelamatkanmu dari penggerebekan gebyah uyah.

Moen, seperti cita-cita semua pelakon seni dari awal. Kita melakukan apa yang kita bisa sesuai dengan kemampuan. Kita ini hanya masyarakat pinggiran, pecinta seni, sekaligus pencari keadilan. Meski pada kenyataannya mulut kita dibungkam dan tubuh kita sengaja dibuang di pulau pengasingan tanpa bukti konkrit, dan diharap mati pelan-pelan, toh, perjuangan belum dan tidak akan pernah berakhir. Akan ada anak cucu kita yang melanjutkan, bukan?

Moen, apakah kau masih menyimpan buku-buku tentang misi pemberontakan itu baik-baik? Buku-buku yang secara berkala dikirim oleh seseorang, yang---tanpa kusebutkan namanya, kau pasti sudah tahu. Nanti, Moen, kalau aku sudah dinyatakan bebas, hal pertama yang akan kulakukan adalah bertemu denganmu. Mempelajari ulang buku-buku berharga itu untuk kemudian berdiskusi denganmu.

Seorang sipir mendekat, mengacungkan pentungan.

"Waktunya makaaaannn!" teriakan panjang terdengar  memekakkan telinga. Daniel buru-buru melipat kertas lusuh di tangannya dan memasukkan kembali ke dalam sabuk gesper seperti semula.

Sambil mengantre makanan, Daniel berdiri termangu. Matanya menerawang jauh. Langit di pulau pengasingan tampak mendung. Dalam hati ia bergumam. Tak ada tukang pos di sini, atau burung merpati yang siap menjadi kurir. Lalu bagaimana Kastamoen akan menerima dan membaca surat yang ditulisnya?

Daniel meraba kembali pinggang kurusnya. Untuk kesekian kali ia mengeluarkan kertas lintingan itu. Membakar lalu mengisapnya perlahan. Dengan wajah tanpa ekspresi laki-laki renta itu mengembuskan asap yang keluar dari mulutnya---tinggi ke udara.

***

Malang, 23 September 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun