"Tapi semua baik-baik saja kan, Bu?" bisik suamiku pelan. Ibu mertua melirikku sekilas. Entah aku yang sensitif atau apa, lirikan Ibu mertua yang hanya sekilas itu, seolah anak panah yang melesat tajam menghujam ulu hati.
Aku mengikuti langkah Mas Adel masuk ke dalam kamar dengan mulut membungkam. Kali ini kubiarkan Mas Adel melepas kemeja safarinya sendiri tanpa bantuanku. Aku hanya meraih kemeja itu ketika Mas Adel sudah menyampirkannya di belakang pintu. Aku berniat memasukkannya ke dalam keranjang cucian kotor.
"Biarkan saja di situ, Rin, besok mau kupakai lagi. Sini rehatlah bersamaku," Mas Adel menarik lenganku. Tanpa sadar aku menepisnya.
"Arin, ada apa?" Mas Adel berseru kaget.
"Ma-af, aku tidak bermaksud..." aku menyadari kebodohanku. Buru-buru aku meraih tangan suamiku dan meremasnya dengan gemetar.
"Ibu benar, kamu kelelahan," Mas Adel merengkuhku dalam pelukannya. Tapi tidak seperti biasa, siang itu aku merespon pelukan suamiku dengan perasaan hambar.
***
Mas Adel menunjukkan surat tugas yang diterimanya dari kantor. "Satu Minggu aku ke Jakarta, Rin. Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal?"
"Nggak apa-apa, Mas."
"Sudah kamu siapkan pakaian buat Adel, Rin?" Ibu mertua menyela pembicaraan kami.
"Sudah, Bu. Semua sudah disiapkan Arin degan baik," Mas Adel yang menjawab. Ibu mertua mengernyit alis. Seperti yang sudah kuduga, ia membuka kembali isi kopor dan memeriksa semua isinya dengan teliti.