Benarlah. Putri sulung tanpa menunggu lama segera mengangkat tangan disertai gelengan kepala, pertanda bahwa ia menolak pinangan Jaka Kendil.
Putri kedua pun melakukan hal yang sama.
Mata Simbok sudah berkaca-kaca. Hatinya sungguh sedih dan malu atas penolakan kedua putri Akuwu itu.
"Sudah kubilang, kan, Le. Jangan seperti pungguk merindukan bulan," Simbok mulai terisak. Jaka Kendil segera memeluk pundak Simboknya, mencoba menenangkan perempuan tua yang sudah mengasuhnya itu.
"Masih ada seorang putri yang belum memberikan jawabannya, Mbok. Jadi jangan menyerah," Jaka Kendil membisiki Simboknya.
Putri ketiga, tidak bersikap seperti kedua kakaknya. Putri itu hanya diam membisu. Menatap Simbok dan Jaka Kendil secara bergantian.
"Den Ayu tidak usah sungkan memberi jawaban. Kami ini memang orang miskin. Dan anak saya, si Jaka Kendil ini memang ditakdirkan buruk rupa. Meski begitu, saya sangat menyayanginya," Simbok beringsut dari duduknya. Menatap Jaka Kendil dengan pandangan kasih seorang Ibu.
Di luar langit mendadak tersapu mendung. Simbok berdiri dari duduknya diikuti oleh Jaka Kendil. Keduanya ingin segera pamit pulang. Ibu dan anak itu sudah kehilangan harap.
Tapi yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaan. Putri bungsu nan jelita itu mendekati Jaka Kendil. Tangannya yang halus terulur. Dengan senyum mengembang sang putri berkata, "Kangmas, aku menerima pinanganmu."
Jlegeeer!
Petir menyambar disertai hujan deras mengguyur. Tubuh bogel dan dekil di hadapan keluarga Akuwu mendadak sirna. Tubuh itu beralih rupa menjadi seorang pangeran tampan. Kiranya, ketulusan cinta sang putri telah membebaskan Jaka Kendil dari kutukan.