Kelas yang semula tenang berubah menjadi riuh. Bunyi mendesis disertai asap hitam mengepul membuat seisi kelas jejeritan. Beberapa anak bahkan spontan bertiarap di bawah kolong meja.
Dua ekor lalat terbang keluar melewati jendela yang terbuka. Satu lalat terlihat lebih gemuk, sedang satu lainnya mengepakkan sayap berulang-ulang sembari mendenging tiada henti.
"Dirga! Gara-gara kau ambil kotak mantra itu, kita berdua jadi seperti ini!" aku mengomeli Dirga yang terbang di sebelahku.
"Maafkan saya sekali lagi Miss. Liz. Â Please, saya benar-benar tidak sengaja..." Dirga berkali terbang merendah. Sepertinya ia sangat menyesali perbuatannya.
"Baiklah, sekarang katakan padaku, di mana kau simpan kotak kecil itu?" Â aku menatap Dirga dengan mata melotot. Mata khas yang dimiliki oleh setiap species lalat.
Dirga mengepakkan sayap lagi. Menjejeriku. "Miss, saya meninggalkan kotak pensil Anda di...."
"Di mana, Boy?"
"Di toilet."
Aku melesat terbang dengan kecepatan super tinggi. Aku kerahkan segenap tenagaku. Aku harus segera mengamankan kotak itu sebelum ada orang lain yang menemukannya.
Keringat membasahi sekujur tubuhku. Napasku terengah-engah.
Huft, ternyata menjadi seekor lalat melelahkan juga, ya.
Dirga berhasil menyusulku.
"Toilet sebelah mana, Boy?" aku menoleh tidak sabar.
"Toilet yang paling ujung  Miss. Liz. Tapi---sepertinya toilet itu sedang terpakai."
***
Aku terbang berputar-putar di depan pintu toilet yang masih tertutup. Terdengar senandung kecil dari dalamnya. Sepertinya harus menunggu agak lama sampai si penghuni toilet keluar menyelesaikan hajatnya.
Lebih dari sepuluh menit pintu terbuka. Seseorang keluar dengan terburu. Aku terkejut. Orang itu ternyata---Bogart!
Aku mengabaikan keterkejutanku, aku lebih mengutamakan kotak itu. Tanpa pikir panjang aku menyeruak masuk ke dalam kamar mandi yang pintunya dibiarkan terbuka.
Mataku nanar mencari-cari. Tapi sepertinya sia-sia.
"Kukira sekarang kotak itu benar-benar hilang," aku bergumam sedih. Dirga menghampiriku.
"Maafkan saya, Miss...."
"Sudahlah, mari kita tinggalkan tempat ini. Kita harus mencari solusi lain agar bisa kembali ke wujud semula," aku mendahului terbang dengan wajah lesu.
"Apakah masih ada yang bisa menolong kita, Miss?" Dirga menguntitku. Suaranya terdengar was-was. Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya aku menjawab dengan kesal. "Entahlah!"
***
Sementara waktu tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali hinggap di tepi vas bunga yang terpajang di depan kelas 8 A. Otakku benar-benar buntu.
Mendadak pintu kelas terbuka. Seorang siswi berjalan keluar.
"Renata!" Dirga berseru girang. Ia melesat terbang mendekati Renata. "Renata, kau bisa mendengarku?"
Renata berhenti sejenak. Bocah itu menyentuh gagang kaca matanya sembari bergumam, "musim kemarau ini banyak sekali lalat berkeliaran. Huh!"
"Renata! Ini kami! Aku dan Miss. Liz. Please, kau bisa mendengarku bukan?" suara Dirga terdengar putus asa. Aku terbang menghampirinya.
"Sudahlah, Boy. Ia tidak akan bisa mendengarmu. Ia belum pernah menyentuh pensil ajaibku itu...jadi percuma saja berteriak-teriak," aku menggerak-gerakkan sayapku.
"Eh, siapa bilang? Aku bisa mendengarkan kalian kok..." Renata membungkukkan sedikit badannya, mengamati kami seraya tersenyum.
Dan itu, membuat aku dan Dirga nyaris terjatuh.
***
Renata menggiring kami duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas 8 A. Dirga hinggap di bahu kiri gadis itu. Sementara aku berada di bahu kanannya.
"Maafkan saya, Miss. Liz. Sebelum Dirga mengambil kotak itu, saya sudah membukanya terlebih dulu. Saya juga telah menyentuh ujung pensilnya. Saya hanya ingin memastikan barang siapa yang tertinggal itu. Setelah tahu isinya, saya yakin kotak itu milik Anda. Lalu saya menutupnya kembali dan berniat memasukkannya ke dalam laci. Tapi urung. Saya pikir  itu tidak perlu sebab beberapa menit lagi Anda tiba di sekolah," Renata menjelaskan kejadian yang membuatnya bisa mendengar suara kami.
"Lalu saya sibuk mengabsen teman-teman yang baru datang. Dan sekelebat saya melihat Dirga keluar kelas sembari membawa kotak itu. Saya hendak mengingatkannya tapi Dirga sudah menghilang entah ke mana."
"Apakah kau sempat membaca mantra-mantra yang kuselipkan di dalam kotak itu?" aku menggetarkan sayapku, merasa lega. Setidaknya ada peluang untuk membebaskan diri dari wujud hewan yang menyebalkan ini.
"Anda benar, Miss. Liz. Saya sempat membacanya. Tapi saya memiliki kebiasaan membaca dalam hati. Barangkali itu sebabnya saya tidak sampai berubah wujud."
Aku mengangguk, mengiyakan. Mantra hanya akan bekerja jika dibaca secara keras dan lantang.
"Kau anak yang cerdas, Renata. Apakah kau bisa mengingat beberapa mantra yang sempat kau baca?" aku menatap muridku itu dengan wajah sumringah, penuh harap. Renata mengangguk. Seketika Dirga terbang dan menari-nari di depan hidung Renata.
"Please, Renata! Bebaskan kami. Tunjukkan sihirmu!"
***
Renata mengangkat kedua tangannya. Aku dan Dirga segera hinggap di atas jari jemarinya.
"Coba ucapkan salah satu mantra yang kau ingat, Renata. Siapa tahu bisa membebaskan kami," aku berkata tidak sabar.
"Baiklah, Miss. Liz," Renata mengatur napas. "Saya tadi sempat membaca mantra ini. VITIS VINIFERA!"
"VITIS VINIFERA!"
Aku dan Dirga mengulangi mantra itu keras-keras, penuh semangat, secara berbarengan.
Cling!
Dan kami sontak berubah wujud---menjadi dua buah butir anggur.
***
Malang, 26 Agustus 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Ket : Vitis Vinifera  adalah nama latin buah anggur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H