"Apakah masih ada yang bisa menolong kita, Miss?" Dirga menguntitku. Suaranya terdengar was-was. Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya aku menjawab dengan kesal. "Entahlah!"
***
Sementara waktu tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali hinggap di tepi vas bunga yang terpajang di depan kelas 8 A. Otakku benar-benar buntu.
Mendadak pintu kelas terbuka. Seorang siswi berjalan keluar.
"Renata!" Dirga berseru girang. Ia melesat terbang mendekati Renata. "Renata, kau bisa mendengarku?"
Renata berhenti sejenak. Bocah itu menyentuh gagang kaca matanya sembari bergumam, "musim kemarau ini banyak sekali lalat berkeliaran. Huh!"
"Renata! Ini kami! Aku dan Miss. Liz. Please, kau bisa mendengarku bukan?" suara Dirga terdengar putus asa. Aku terbang menghampirinya.
"Sudahlah, Boy. Ia tidak akan bisa mendengarmu. Ia belum pernah menyentuh pensil ajaibku itu...jadi percuma saja berteriak-teriak," aku menggerak-gerakkan sayapku.
"Eh, siapa bilang? Aku bisa mendengarkan kalian kok..." Renata membungkukkan sedikit badannya, mengamati kami seraya tersenyum.
Dan itu, membuat aku dan Dirga nyaris terjatuh.
***