Beberapa murid tampak terkaget-kaget melihatku. Aku pura-pura tidak melihatnya.
"Namaku Liz. Kalian boleh memanggilku Miss. Liz. Aku guru baru kalian," aku berdiri memperkenalkan diri. Tak ada satu murid pun yang menyahut. Sepertinya mereka masih syock melihat kemunculanku yang tidak wajar.
Seorang murid, perempuan, berkaca mata, berdiri dari bangkunya. Ia menatapku tanpa senyum. Tapi aku suka, dari sorot matanya ia kelihatan sangat cerdas.
"Mis Liz, nama saya Renata. Boleh saya tahu, apakah yang Anda tunjukkan tadi itu sihir?" bocah berkaca mata itu bertanya tegas. Sesaat aku bingung harus menjawab apa. Sebab aku sendiri juga merasa heran, mengapa tahu-tahu aku berada di kelas ini.
"Kami tidak mau memiliki guru seorang penyihir," anak perempuan itu melanjutkan. Pandangannya tajam tertuju ke arahku. Beberapa temannya ikut bergumam.
"Baiklah, kalian dengarkan dulu. Itu tadi bukan sihir. Hanya sedikit sulap," ujarku berusaha menutupi kegugupanku.
"Sulap? Anda guru Matematika atau tukang sulap?" anak perempuan yang cerdas itu mencecarku.
"Aku guru Matematika, tapi aku pernah belajar sedikit sulap."
Sejenak suasana hening. Kukira aku harus segera mencairkan suasana, kalau tidak....
"Baiklah, kalian siapkan buku untuk mencatat materi pelajaran Matematika," aku mengeluarkan buku dari dalam tasku, beserta pensil berkepala naga itu.
Dan kejadian aneh terulang lagi. Â Saat tanganku menyentuh pensil peninggalan Kakekku itu, kami satu kelas tiba-tiba lenyap.