"Apa kabar, Pieter? Tak kusangka kau berada di sini juga," laki-laki tak kukenal itu mendekati Papi.
"Julian?" Papi memiringkan kepalanya sedikit. Rasa terkejut membuat kuas yang berada di tangannya nyaris terjatuh.
"Takdir mempertemukan kita kembali, Pieter. Aku tidak menyangka kita akan bertemu di tempat ini dalam suasana yang sangat romantis," laki-laki bernama Julian itu terkekeh.
"Apa maumu, Ju?" Papi meletakkan alat-alat lukisnya. "Kau pasti sengaja menguntitku," suara Papi terdengar bergetar.
"Itulah dirimu, Pieter. Selalu berburuk sangka padaku. Mentang-mentang aku ini musuh bebuyutanmu," laki-laki itu terkekeh lagi.
"Katakan apa maumu, Julian! Jangan berputar-putar," Papi menghadap ke arah laki-laki yang seumuran dengannya itu seraya menatapnya tajam.
"Pieter sayang, sabarlah sedikit. Kau pasti akan segera tahu apa yang aku inginkan."
"Jangan membuatku marah, Ju!"
"Ow-ow...baiklah. Kau memaksaku untuk segera mengatakannya. Dengar, Pieter. Aku ingin mengambil kembali milikku."
"Kau sinting! Gila!"
"Anak itu, Pieter. Kau pasti paham apa yang kumaksud, bukan?" laki-laki itu semakin dekat dengan Papi.