Adalah aku, titisan Dewi Drupadi, perempuan yang terlahir dari api suci.
"Niken! Hapus tulisan aneh itu!" Kakakku Siska menegurku. Aku tidak menggubrisnya.
Adalah aku, yang pernah membebat luka Sri Kresna ketika ia terluka dengan kain panjangku...
"Niken, kisah apa sih yang kau tulis ini? Tidakkah lebih baik menyalinnya di buku harianmu saja? Menempelkan coretan-coretan kecil pada dinding kamar seperti ini, sungguh terlihat sangat berantakan!" kembali suara bawel itu terdengar. Aku sama sekali tidak menanggapinya.
Siapa yang tidak terpesona oleh kecantikanku? Para Dewa, para ksatria...Bahkan dua Kurawa yang terkenal bodoh itu, Duryudana dan Dursasana, mereka terlihat semakin bodoh ketika bersitatap muka denganku, terkesima oleh pesonaku hingga tak menyadari hampar kolam di hadapannya. Byuuur! Kedua mahluk jelek itu kuyup tercebur. Hak, hak, hak...sungguh lucu, mari kita tertawa.
"Astaga, Niken. Berhentilah menulis sesuatu yang tidak berguna!"
Dan aku, terbelenggu kebingungan, ketika Dewi Kunti memintaku untuk membagi cinta, menjadi istri bagi kelima putranya, Panca Pandawa.
"Itu sungguh sesuatu yang gila! Perempuan dengan lima suami? Bagaimana mungkin terjadi?" Kakakku mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Hah, sepertinya ia menyimak juga tulisan-tulisanku yang tadi sempat dianggapnya tidak berguna itu.
Oh, air mataku tumpah, ketika dua Kurawa brengsek itu berusaha menarik kain panjangku, menelanjangiku. Duh, Dewa Bathara Agung....
"Adikku, ini sudah malam. Tidakkah kau ingin tidur? Jangan lanjut menulis kisah yang tidak kumengerti. Apalagi yang berbau misteri," terdengar suara itu lagi. Meski nadanya agak mereda, menurutku kebawelan Kak Siska masih tetap menyebalkan.Â
Sri Kresna mendengar tangisku...tangis perempuan yang hendak dipermalukan. Maka impaslah semua. Buah kebaikanku, telah terbalaskan.