Bag.10-JejakTersapu Angin
Kami sepakat kembali ke Rumah Sakit untuk menemui pedagang asongan itu. Aku yakin ia belum pergi dari sana. Kami siap berangkat ketika tiba-tiba Bapa Made muncul di ambang pintu dan menawarkan diri untuk mengantar Papi. Ia melarangku ikut pergi.
"Jansen istirahatlah dulu. Biar Bapa yang menemani Papi Pieter."
Aku menurut.
Kulihat Papi begitu bersemangat menuju taksi yang sudah menunggu. Aku melepas kepergiannya dengan perasaan haru. Dalam hati aku berdoa, semoga Tuhan memberi Papi kesempatan mengumpulkan kembali serpihan cintanya yang berserak.
Aku menghabiskan waktu di dalam kamar. Tak ada kegiatan yang kulakukan kecuali berbaring sambil menonton televisi hingga tertidur.
Papi dan Bapa Made baru kembali ke penginapan setelah hari menjelang petang. Melihat wajah Papi yang murung, aku menduga bahwa usaha yang mereka lakukan tidak berjalan mulus.
"Berjam-jam aku dan Bli Made menunggu di taman Rumah Sakit, Jansen. Temanmu itu ternyata sudah pergi," Papi menghempaskan tubuhnya di atas sofa.
"Apakah Papi sudah menanyakan kepada pasien yang tinggal di sebelah kamarku itu? Sepertinya mereka saling mengenal," aku menatap Papi. Seketika Papi terlonjak seraya menepuk dahinya sendiri, berulang kali.
"Astaga, Jansen! Mengapa tidak terpikirkan olehku akan hal itu. Ah, Bli  Made! Besok kita kembali lagi ke Rumah Sakit!" Wajah Papi berubah sumringah. Bapa Made yang berdiri di sampingnya hanya mengangguk.