"Oh, hanya seorang teman," Â jawabku sembari mengayun langkah.
"Teman? Kau berteman dengan orang semacam dia, Zoon?" nada suara Papi terdengar tidak suka.
Aku mengangguk.
***
Hari sudah siang ketika kami sampai di penginapan. Papi terlihat sangat gembira. Seperti aku, kukira ia tengah menikmati suasana Bali yang sekian lama ditinggalkannya.
"Bali belum berubah, Jansen. Setidaknya begitu menurutku. Papi masih bisa menyaksikan iring-iringan warga menuju Pura untuk beribadah. Juga kesenian tradisional semacam Tari Kecak dan upacara Ngurek, masih dipertahankan."
"Aku ingin berjalan-jalan menikmati keindahan Bali bersama Papi...."
"Kita pasti akan melakukannya, Zoon. Kalau kau sudah benar-benar sehat."
"Aku merasa sudah sehat, Pi." Aku mengecup pipi Papi yang keriput. Kulihat Papi tersenyum.
"Kukira ini sudah takdirku, Jansen. Harus kembali menginjakkan kaki ke Pulau Dewata ini. Semula Papi hanya ingin mengirim dirimu saja agar bisa bertemu Ni Kadek Resti. Sementara Papi---biarlah mengubur dalam-dalam semua kenangan tentang Bali."
"Juga mengubur kenangan bersama penari cantik sialan itu?" aku menggoda Papi. Papi tertawa.