Aku menajamkan pandanganku.Â
Ya, aku tak salah lagi. Dia---pedagang asongan yang pernah kujumpai di taman kota malam itu. Aku mengenalinya. Tampilannya tetap sama, belum berubah. Ia masih mengenakan topi kumal dan membebat wajahnya dengan kain.
Aku bergegas beranjak dari dudukku, berniat menghampirinya.
"Aha, rupanya kamu masih juga berkeliaran di sini. Dasar tidak tahu diri!" tiba-tiba sebuah suara melengking. Membuatku mundur beberapa langkah.
Laki-laki pemarah itu, ia sudah berdiri di sebelahku.
"Maaf, aku bicara dengan orang yang di sana itu," laki-laki itu menatapku sekilas. "Enyah kau dari hadapanku! Aku tidak sudi lagi melihat wajahmu!" pasien aneh itu berteriak-teriak lagi. Ribut sekali.
Sementara sosok yang meringkuk di dekat semak tetap diam tak bergerak.
"Huh, dasar tidak tahu malu!" laki-laki di sebelahku terus saja menyumpahinya.
"Jansen, Papi sudah rampung. Mari kita berkemas." Â Suara Papi mengagetkanku.
"Baiklah, Pi." Aku siap berbalik badan. Tapi kemudian urung. Karena sekelebat kulihat sosok yang kukenal itu menoleh ke arah kami. Tapi hanya sesaat. Ia buru-buru memalingkan wajahnya kembali.
"Siapa dia, Jansen?" Â Papi ternyata melihatnya juga.