Sejak pembicaraan sore itu perasaan Laatri mulai bimbang. Mengapa tidak diterima saja saran Mbok Jum? Bukankah bisa menguasai Pram seutuhnya adalah impiannya selama ini? Sebagai istri simpanan ia kerap merasa tersiksa, memendam kerinduan seorang diri. Selain harus banyak mengalah, ia juga harus rela menunggu sampai Pram benar-benar memiliki waktu luang untuk menemuinya.
"Mbok Jum, ajarkan ajian peletmu itu kepadaku!” Lastri menepuk pundak Mbok Jum agak keras. Perempuan tua yang tengah merapikan meja makan itu nyaris terjengkang karena kaget. Tapi kemudian ia tertawa.
"Saya tahu Nyonya pasti akan menerima saran saya. Meski...lelaku ajian ini prosesnya cukup berat.”
"Katakan, Mbok. Aku siap menjalani.”
****
Bersemedi pada tengah malam di ruang gelap tertutup, tanpa sehelai benang, merupakan salah satu lelaku yang harus dijalani Lastri. Dilanjut puasa mutih, berbuka hanya dengan tiga kepal nasi putih berlauk kuncup bunga melati dan beberapa teguk air tawar. Mbok Jum juga mengajarkan bacaan mantra Jaran Goyang yang harus dirapal sebanyak tujuh kali pada saat-saat tertentu.
Semua lelaku itu wajib dilakukan Lastri selama tujuh hari tujuh malam. Tidak boleh ada jeda. Menurut Mbok Jum jika Lastri lolos menjalaninya, maka seluruh jiwa raga Pram sudah bisa dipastikan jatuh dalam kekuasaannya.
Waktu terus bergulir. Ini hari terakhir Lastri menjalani lelaku itu. Semedinya nyaris sempurna.
Malam sudah melewati sepenggal perjalanan ketika terdengar deru mobil memasuki halaman. Konsentrasi Lastri sedikit goyah. Antara ingin membatalkan atau melanjutkan ritual yang tinggal beberapa jam lagi.
Ketukan pada pintu menggelisahkan pikirannya. Itu pasti Pram. Duh, kenapa ia berkunjung lebih awal dari biasanya?
Lastri nyaris membatalkan lelakunya kalau saja tidak terdengar langkah terseok membukakan pintu. Suara kaki Mbok Jum. Dan, Lastri yakin perempuan tua itu bisa menangani semuanya. Termasuk mengalihkan perhatian Pram jika suaminya itu bertanya tentang keberadaannya.