Aku berlari-lari kecil menembus gerimis. Jalanan mulai gelap. Tak kuhirau. Juga perut yang terasa perih sejak siang tadi. Yang ada dalam pikiranku hanyalah, aku harus segera pulang. Harus tiba di rumah tepat waktu. Jika tidak...entahlah.
"Mel, hari ini tukang yang membenahi atap bocor terakhir bekerja. Kamu jangan terlambat pulang!" Pesan Bapak mertua tadi pagi masih terngiang di telingaku. Juga tatapan Ibu mertua yang sengaja menutup pintu kulkas keras-keras. "Sepertinya kulkas harus segera diisi, Mel. Bukankah hari ini kamu gajian?"
Dan masih banyak lagi pesan-pesan tersirat, dari sorot mata Mas Rusdi, suamiku. Sorot mata yang paling kubenci, sekaligus kucintai.
"Rokokku, Mel, sudah tinggal sebatang. Oh, ya...kalau ada sisa uang gajimu, jangan lupa belikan Abang masakan Padang ya!"
Aku hanya bisa mengangguk, tak bisa mengelak melewati hari-hari yang sibuk oleh permintaan mereka, orang-orang pemalas yang---terlanjur hadir dalam hidupku.
Gerimis kian merapat. Wajah lelahku mulai basah. Di teras rumah, kulihat tukang yang disuruh oleh Bapak mertua sedang duduk merenung. Menungguku. Ia terlihat gembira begitu melihat kemunculanku.
"Mbak Mel, saya kira mbak akan pulang malam."
"Sebenarnya iya, Pak. Tapi saya minta izin kepada pengawas pabrik untuk pulang duluan." Aku menyodorkan amplop berisi uang kepada tukang bangunan itu. Usai mengucap terima kasih, tukang itupun pergi.
Langkahku terhenti di ambang pintu. Kulihat Ibu mertua berdiri menatapku.
"Mel? Kau belum belanja? Tadi pagi Mama kan sudah bilang...."
"Saya terburu-buru, Ma."