Selalu, pada anak tangga ke tujuh aku berhenti. Menata sejenak suasana hati yang sibuk bergemuruh. Menghela napas panjang. Lalu berupaya menepis segala memori.
Sejujurnya aku begitu tersiksa setiap kali harus melewatinya. Tangga dari besi yang bentuknya melingkar, yang menghubungkan lantai bawah menuju kamar atas itu mengingatkanku pada kenangan masa lalu. Kenangan indah yang tak akan pernah mampu kulupakan.
Selalu--- pada anak tangga ke tujuh itu kau mengajakku berhenti. Mencium lembut keningku dan menangkup pinggangku erat-erat.
"Tahun depan jika tabungan sudah terkumpul, kita akan segera berangkat ke tanah suci," begitu tuturmu . Aku tersenyum. Merebahkan kepalaku di atas dadamu yang bidang.
"Semoga angan ini bukan hanya sekedar keinginan," bisikku. Dan kau semakin mempererat pelukanmu.
Ya, di sana, di tangga ke tujuh lengan kekarmu akan berlama-lama mendekapku.
"Mama!" suara Zaki mengagetkanku. Bocah belasan tahun itu menghampiri dengan langkah terburu. "Mama terlalu lama berdiri di sini," menatapku. Lalu tanpa ragu ia memapahku turun kembali menuju ruang bawah.
"Zaki akan membersihkan kamar itu, Ma....Mama istirahatlah," ia membimbingku menuju sofa.
Zaki kembali menaiki anak tangga. Meninggalkanku duduk terpekur. Kurapikan syal yang membelit leherku.
Ini musim penghujan. Biasanya kita duduk-duduk bersantai di ruang tengah. Kau akan membawakan secangkir teh panas untukku. Lalu dengan sabar meniup teh itu sampai benar-benar siap kuminum. Saat itulah aku bisa melihat dengan puas wajahmu yang kecoklatan, yang mulai dihiasi kerutan-kerutan kecil pada setiap sudut di penghujung kedua mata.
“Minumlah sayang...” ujarmu seraya mendekatkan bibir cangkir ke arah bibirku. Dan aku serta merta meneguk teh yang sudah menghangat itu dengan perasaan bahagia.
Kukira kau---terlalu memanjakanku.
Mataku kembali menatap susunan anak tangga yang melingkar. Lagi, kulihat bayang kita berdiri di sana, di anak tangga ke tujuh.
“Kalau aku yang dipanggil Tuhan terlebih dulu, akankah kau menikah lagi?” bisikku agak gemetar. Pertanyaan itu tiba-tiba menyeruak begitu saja. Kau tidak menjawab dengan kata-kata. Hanya tanganmu mengusap lembut punggungku, dan itu---cukup memberiku kekuatan dan kepercayaan. Seberapa besar cintamu padaku.
“Besok pagi waktunya kontrol ke dokter. Aku akan izin sebentar tidak masuk kantor untuk mengantarmu.”
“Tidak perlu sampai begitu, tetaplah masuk kerja seperti biasa,” aku menatap wajahmu yang tak pernah sepi dari senyum. “Aku bisa pergi sendiri.”
“Kau membutuhkan kehadiranku, dear,” ujarmu lembut. Sungguh, aku kerap ingin menangis setiap kali kau perlakukan diriku sebegitu istimewa.
Ini setahun sudah sejak kepergianmu. Tapi belum tuntas juga masa berkabung di hatiku. Kau meninggalkanku begitu cepat. Padahal yang sakit itu aku. Mengapa yang dipanggil Tuhan terlebih dulu justru dirimu?
Kejadian tragis itu kembali menari-nari di pelupuk mataku. Kejadian yang membuatku harus kehilangan dirimu selamanya.
Siang itu usai menjalani pemeriksaan dokter, kita memutuskan untuk langsung pulang. Seperti biasa kau papah aku menuju lantai atas. Tak kau lepas sedetik pun pinggangku dari regkuhanmu.
Pada anak tangga ke tujuh, kaki kita spontan berhenti.
“Aku selalu ingin menciummu di anak tangga ke tujuh ini. Kenapa ya?” kau tertawa. Dan aku pun ikut tertawa. Selalu begitu. Lalu kita mengulangi lagi hal-hal yang biasa kita lakukan saat berdiri di anak tangga ke tujuh itu. Berdansa, tanpa suara. Diiringi irama detak jantung kita berdua.
Entah mungkin lelah atau memang kesehatanku tengah menurun drastis, pada gerakan ke sekian, tubuhku melunglai. Menggelosoh jatuh. Seketika kau panik dan membopongku menuju kamar.
“Kau ingin minum, sayang?” tanyamu seraya memegang kedua pipiku. Aku mengangguk. Kukira itulah kesalahanku. Mengapa aku mesti mengangguk? Membuatmu terburu-buru turun ke lantai bawah. Dan, brraaakkk...terdengar suara benda jatuh.
Itu dirimu!
Aku melihatnya. Tubuhmu terkapar tepat di anak tangga ke tujuh. Bersimbah darah dan tidak bergerak lagi.
“Mama...kamarnya sudah bersih. Mama ingin Zaki antar ke atas sekarang?” Zaki menyentuh pundakku. Aku berdiri. Menatap sejenak anak semata wayangku.
Zaki menidurkanku di atas ranjang. Menyelimutiku. Sebelum meninggalkan kamar, ia membisikiku,” Mama ingin minum?”
Aku mengangguk. Karena tenggorokanku memang terasa sangat kering.
Dan aku telah mengulang kesalahan itu lagi.
Braaakkk!
Bunyi berderak. Setengah terhuyung aku bangun dari ranjangku.
Di ambang pintu kamar aku berdiri terpaku menatap tubuh Zaki. Ia terkulai bersimbah darah. Tak bergerak lagi.
Tepat di atas anak tangga ke tujuh.
***
Malang, 17 Mei 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H