Dee manata rapi empat cangkir kopi di atas meja berbentuk oval. Berbaris saling berhadapan. Sementara Jim, suaminya sibuk memperhatikan pertandingan bola yang tengah tayang di televisi.
“Jadi jam berapa tamu-tamu itu datang, Dee?” Jim bertanya tanpa menoleh. Dee membetulkan letak taplak yang agak miring. Sebelum menjawab pertanyaan suaminya mata perempuan itu melirik ke arah jam yang menempel pada dinding.
“Sepuluh menit lagi,” ujar Dee seraya berdiri. Jim melirik sekilas ke arah empat cangkir kopi di atas meja.
“Kau bilang yang bertamu hanya dua orang, Dee? Mengapa ada empat cangkir kopi?”
“Jim, yang dua cangkir itu untuk kita.”
“Tumben kau minum kopi Dee? Biasanya kau mengeluh perutmu kembung.”
“Untuk tamu spesial kali ini, aku rela perutku kembung!” Dee tertawa. Jim seketika mengalihkan pandang ke arah istrinya. Dahinya mengernyit.
“Kau belum mengatakan padaku siapa tamu-tamu kita itu, Dee.”
“Nanti kau akan tahu sendiri, Jim. Oh, itu, mereka sudah datang!” Dee berjalan menuju ruang tamu. Membuka pintu dengan tergesa.
Dua sosok muncul di ambang pintu.
Jim mengenali mereka. Sherlock Holmes dan Hitler.
Tanpa memedulikan pertandingan bola yang sedang berlangsung seru, Jim melompat menyambut kedua tamu istimewa itu.
“Sir, saya Jim,” laki-laki itu mengulurkan tangannya.
“Senang bertemu Anda, Tuan Jim!” Sherlock Holmes tersenyum seraya membalas uluran tangan Jim. Hitler, seperti biasa berdiri dengan wajah kaku. Meski akhirnya ia mengulurkan tangannya juga.
“Nyonya Jim?” Sherlock Holmes beralih menatap Dee. Dee mengangguk. Wajahnya yang manis berseri-seri.
“Kami sudah menyiapkan kopi untuk Anda berdua, Tuan-tuan,” Dee berkata dengan riang.
***
Sherlock Holmes memilih duduk di kursi sebelah kanan berdampingan dengan Hitler. Sementara Jim dan Dee duduk di kursi yang terletak berseberangan. Kedua tamu dan tuan rumah duduk berhadapan dibatasi oleh satu meja.
Di luar udara sangat cerah. Rembulan bulat penuh mengambang di langit. Sesekali dewi malam itu mengintip keempat orang yang tengah asyik berbincang dari balik kaca jendela.
“Silakan diminum kopinya,” Dee mempersilakan kedua tamunya untuk mencicipi kopi yang disuguhkan. Sherlock tampak gembira. Tangan kurusya terulur. Mengambil kopi yang letaknya tepat di hadapan Jim. Dee terbelalak.
“Tuan Holmes! Kopi Anda yang itu...” Dee menunjuk ke arah cangkir yang terletak tepat di hadapan laki-laki bertubuh kurus itu.
“Saya hanya menyesuaikan daya jangkau dengan ukuran lengan saya, Nyonya,” Sherlock Holmes tertawa.
“Kopi itu khusus buat suami saya, Tuan. Rasanya tawar, tidak bergula!” Dee berusaha mencegah. Sherlock seolah tidak mendegar. Ia terus saja mendekatkan cangkir ke dekat mulutnya dan siap menyeruput kopi yang beraroma wangi itu.
“Kebetulan saya juga sedang diet gula, Nyonya.” Sherlock Holmes berkata setengah bergumam.
Keringat dingin mulai membasahi kening Dee. Ia terlihat panik dan gugup. Tangan dan kakinya bergetar.
Sedang mengenai Hitler, ternyata ia memiliki kebiasaan “meniru”. Ia ikut-ikutan meraih cangkir kopi yang berada jauh dari jangkauannya. Cangkir mungil yang berada tepat di hadapan Dee.
Kali ini Dee tidak mencegah seperti apa yang ia lakukan terhadap Sherlock Holmes. Ia membiarkan begitu saja Hitler menyeruput kopinya hingga tuntas tak berbekas.
***
Sherlock meletakkan cangkir di tangannya perlahan. Lalu ia menggeser cangkir berisi kopi yang masih utuh, yang seharusnya untuk dirinya menuju hadapan Jim.
“Silakan diminum kopinya...” Sherlock tersenyum ke arah Jim. Jim mengangguk. Dee semakin gemetar.
“Saya juga memiliki kebiasaan aneh, Tuan-tuan. Saya selalu meminta istri saya mencicipi kopi terlebih dulu sebelum kopi itu saya minum...” Jim mengulurkan cangkir di tangannya ke arah Dee.
“Tidak, Jim. Aku bisa kembung!” Dee menggeleng dan menepis cangkir yang dipegang suaminya. Tepisan itu membuat isi cangkir tumpah. Jim melotot. Ia nyaris memarahi istrinya itu.
“Tuan dan Nyonya Jim, kukira masalah kalian sudah beres,” Sherlock Holmes berdiri diikuti oleh Hitler.
“Apa maksud Anda?” Jim menatap tamunya tak berkedip. Ia kebingungan.
Sherlock Holmes membalas tatapan Jim dengan tenang.
“Tuan Jim, Anda bisa mulai berdiskusi bersama istri Anda. Menanyakan hal-hal seputar...mm, rencana mengapa ia sampai meletakkan racun ke dalam kopi untuk membunuh seseorang,” Sherlock Holmes berdehem sembari merapikan ujung lengan kemejanya.
Setelah membungkukkan badan, detektif kurus itupun berlalu. Bersama Hitler ia meninggalkan suami istri yang masing-masing duduk membisu.
***
Dee menangis terisak. Jim masih terdiam.
“Maafkan aku, dear. Aku hanya tidak ingin bola merampas perhatianmu dariku....”
Jim mengulurkan tangannya perlahan. Ia mengelus lembut punggung istrinya.
“Aku tahu, Dee. Aku yang salah,” laki-laki itu kemudian merengkuh Dee ke dalam pelukannya.
Beberapa menit kemudian, ponsel Sherlock Holmes bergetar. Sebuah pesan masuk menunggu untuk dibaca.
“Thank’s, Tuan Holmes. Anda telah berjasa menyelamatkan keharmonisan keluarga saya. Suami saya berjanji untuk tidak terlalu tergila-gila lagi pada permainan bola.”
“Dari perempuan itu, ya?” Hitler bertanya kaku. Sherlock Holmes mengangguk.
“Perempuan...hh, mereka selalu punya cara untuk menguasai hati laki-laki. Oh, ya, Tuan Hitler, ngomong-ngomong bagaimana dengan rencana Anda berkenaan dengan perang dunia ketiga? Apakah pasukan tentara Anda sudah siap menggempur? ”
***
Malang, 16 Mei 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H