Telah aku lumat sajak-sajakmu dengan gairah paling gelora. Pun, telah kupeluk rindu yang kau rentang dengan rengkuh--- paling lelakiku. Tak kubiarkan cinta ‘memiliki’. Seperti pintamu, ia hanya akan ‘menjadi’. Selayak pagi merupa cahaya, siang menjelma reksa, dan malam adalah---cipta.
Usah kau ingatkan aku, tentang balas budi cinta. Ini cinta sebenar-benar cinta. Pantang tawar menawar, tiada berhitung piutang. Cinta ya, cinta. Sudah, begitu saja.
Apabila pada akhirnya kita memperlakukan cinta begitu mulia, maka sesungguhnya, kitalah yang telah dimuliakan oleh cinta itu---dengan sendirinya.
Gabril menurunkan ransel dari punggungnya. Kereta baru saja bergerak, ia ingin sekali merebah sejenak pada sandaran kursi yang jauh dari kata empuk.
“Masih bertukar kata-kata dengan gadis itu?” seseorang bertanya.
“Mayza, maksudmu? Iya, masih,” Gabril menjawab seraya tertawa. Lalu ia merogoh saku jaketnya. Mengambil sesuatu. Sebuah amplop berisi syair-syair yang ditulis oleh Mayza.
“Kau tidak bermaksud menemuinya?”
“Menemui Mayza, maksudmu? Tidak. Ia tidak pernah memintaku untuk itu. Sama halnya sepertiku. Aku tidak pernah meminta ia untuk menemuiku.”
“Kalian tidak boleh begitu. Jika saling mencintai, harus berani bertemu.”
“Syair-syair kami telah bertemu. Bahkan telah menikah dan memiliki banyak anak.”
Seseorang yang ia ajak bicara itu mengernyitkan alis. Dia atau aku-kah yang gila? pikirnya. Lalu orang itu buru-buru menutup wajahnya dengan koran pagi.