“A-pa maksudmu?” ia semakin menggelepar.
“Belum mengerti juga ya? Aku mencintai Biyan! Dan kau tidak boleh merebutnya dariku!”
Sejenak mata Ra melebar, seperti hendak mencuat keluar. Lalu tubuhnya yang langsing itu terkulai. Ia jatuh, bergedebum di atas lantai marmer yang dingin.
Mungkin ia hanya pingsan. Atau bisa juga sudah mati.
Aku tak peduli.
Aku berjalan menuju cermin. Berdiri anggun di hadapannya. Kusibakkan rambutku yang berantakan.
“Selamat malam, Nona Biyanca. Sudahkah kau catat hari ini? Ra---adalah korbanmu yang kesekian.”
***
Malang, 18 April 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H