Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jendela Empat Penjuru

4 April 2017   08:47 Diperbarui: 4 April 2017   21:08 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Maukah kau berkunjung ke rumah baruku? Rumah istmewa yang kuberi nama Rumah Cinta. Ayo, datanglah. Di sana akan kau temui hal-hal yang tidak pernah terpikirkan olehmu.

Rumahku tidak bagus, juga tidak jelek. Sedang-sedang saja. Ruangannya sengaja dibiarkan lapang tanpa sekat. Tak akan kau temui bilik-bilik di sana. Juga tak ada perabot apa pun yang menghiasi.

Rumahku itu memiliki empat jendela. Jendela pertama menghadap arah timur, jendela ke dua menghadap arah selatan, dan sisanya menghadap arah barat dan utara.

Masing-masing jendela jika terbuka,  akan menampilkan kisah. Kau penasaran? Ayo, segera saja datang berkunjung ke mari.

Oh, baiklah. Engkau adalah tamu pertama yang datang berkunjung ke Rumah Cintaku. Silakan masuk, dan bersenang-senanglah. Pilihlah sesuka hatimu jendela mana yang ingin kau buka pertama kali. Jendela yang menghadap arah utara? Boleh. Mari kubantu membuka lebar-lebar daunnya.

Sekarang, kisah apa yang kau lihat dari jendela yang menghadap arah utara itu? Ceritakan padaku, aku ingin mendengarnya.

“Musim dingin. Orang-orang berjaket tebal dengan topi dan syal pada leher mereka. Salju berguguran di atap-atap rumah menyerupai kapas. Anak-anak riang bermain ski bersama anjing-anjing mereka.”

“Teruskan ceritamu.”

“Para perempuan sibuk memasak kue jahe. Aromanya tercium wangi, humm. Para lelaki menyingkirkan ranting-ranting pohon yang tumbang. Para pemuda menenteng semacam garu untuk membersihkan salju yang menghalangi jalan.”

“Lalu para gadis di mana?”

“Oh, para gadis? Sungguh, aku tidak suka ini! Para gadis duduk merenung di depan perapian, dengan hati yang patah….”

“Kau masih ingin melanjutkan kisah? Tidak? Baiklah. Akan kututup lagi jendela ini.”

***

Selamat datang. Engkau adalah tamu ke dua yang berkunjung ke Rumah Cintaku. Siapa namamu? Hoho, kau tidak ingin memberi tahu, tak masalah. Apalah arti sebuah nama. Sama sekali tak penting bagiku.

Sekarang pilihlah, jendela mana yang ingin kau buka? Hm, jendela yang menghadap ke arah barat, baiklah. Dengan senang hati aku akan membantu menguak tirainya.

Ayolah, katakan sesuatu, jangan hanya tersenyum begitu. Aku siap mendengarkan ceritamu.

“Musim semi. Bunga-bunga bermekaran di mana-mana. Beberapa orang duduk-duduk di bangku taman, menikmati suasana senja. Sepasang manula asyik bercengkrama, bernostalgi, mengenang masa lalu yang indah. Ada senyum tersungging di bibir-bibir keriput mereka.”

“Lanjutkan.”

“Bocah-bocah kecil berlari riang. Berkejaran mengitari taman sembari sesekali mengejutkan kakek nenek mereka dengan ciuman atau pelukan. Sementara di ujung taman, sepasang muda-mudi tengah merencanakan masa depan. Ini benar-benar indah!”

“Bagaimana dengan suami istri yang tengah duduk di bawah pohon Ek itu?”

“Mereka membicarakan sesuatu…tentang…ah, aku tidak suka ini! Perceraian. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Egois! Mereka memutus cinta tanpa mengindahkan perasaan.”

“Perasaan siapa?”
 “Perasaan anak-anak mereka.”

“Kau ingin melanjutkan kisah?”

“Tidak! Tutup saja.”

“Baiklah.”

***

Kau datang agak terlambat. Tapi tak apa. Masih ada waktu beberapa menit sebelum kututup Rumah Cintaku ini.

Kau adalah tamu ke tiga. Masih ada dua jendela yang belum terbuka. Kau memilih jendela yang mana? Oh, baiklah. Jendela yang menghadap ke arah selatan. Biar aku bantu menarik engselnya.

Yo, berceritalah. Jangan hanya berdiri termangu begitu.

“Hamparan padang tandus nan gersang. Orang-orang berkulit hitam, terbakar matahari. Pria-pria dewasa membawa tombak sembari berlari-lari. Mereka mengejar hewan buruan. Para ibu menunggu dengan sabar di depan rumah yang atapnya terbuat dari daun rumbia. Anak-anak berlarian, telanjang tanpa busana. Para pemuda mengasah batu. Dan, para gadis…”

“Para gadis kenapa?”

“Mereka menari-nari sembari menggumamkan mantra-mantra. Wajah mereka tertutup bedak tebal, tak mudah dikenali. Kaki mereka menghentak, berjingkrak-jingrak. Sekilas orang melihat mereka tengah bersuka ria, tapi sesungguhnya tidak. Mereka sebenarnya tengah menangis.”

“Menangis?”

“Ya, mereka menangis. Tersebab, oh, aku tidak suka mengatakan ini.”

“Katakan saja. Tak apa.”

“Tersebab ada tradisi yang menakutkan. Para gadis harus rela menyerahkan keperawanan kepada tetua mereka.”

“Kau masih ingin mengatakan sesuatu?”

“Ya! Tutup saja jendela ini! Aku ingin pulang.”

***

Kukira tak ada lagi yang akan berkunjung ke Rumah Cintaku. Hari sudah malam. Apa? Kau masih berharap ada tamu yang datang dan menceritakan kisah di balik jendela yang belum terbuka? Tidak. Aku harus menutup rumahku. Jikalau pun ada tamu, aku tak akan menerimanya.

Sudahlah, jangan merayuku. Jangan kepo begitu. Biarkan saja jendela yang menghadap arah timur tetap tertutup seperti itu.

***

Malang, 04 April 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun