“Kau ingin melanjutkan kisah?”
“Tidak! Tutup saja.”
“Baiklah.”
***
Kau datang agak terlambat. Tapi tak apa. Masih ada waktu beberapa menit sebelum kututup Rumah Cintaku ini.
Kau adalah tamu ke tiga. Masih ada dua jendela yang belum terbuka. Kau memilih jendela yang mana? Oh, baiklah. Jendela yang menghadap ke arah selatan. Biar aku bantu menarik engselnya.
Yo, berceritalah. Jangan hanya berdiri termangu begitu.
“Hamparan padang tandus nan gersang. Orang-orang berkulit hitam, terbakar matahari. Pria-pria dewasa membawa tombak sembari berlari-lari. Mereka mengejar hewan buruan. Para ibu menunggu dengan sabar di depan rumah yang atapnya terbuat dari daun rumbia. Anak-anak berlarian, telanjang tanpa busana. Para pemuda mengasah batu. Dan, para gadis…”
“Para gadis kenapa?”
“Mereka menari-nari sembari menggumamkan mantra-mantra. Wajah mereka tertutup bedak tebal, tak mudah dikenali. Kaki mereka menghentak, berjingkrak-jingrak. Sekilas orang melihat mereka tengah bersuka ria, tapi sesungguhnya tidak. Mereka sebenarnya tengah menangis.”
“Menangis?”