Sore yang indah, ya, Thom. Udara sedang cerah. Lihatlah, para penjual bunga tampak riang menawarkan dagangannya. Beberapa di antara mereka asyik merangkai buket pesanan sembari berdendang.Â
Berapa kali kita menginjakkan kaki di sini, Thom? Di pasar bunga ini. Oh, sudah tidak terhitung lagi, ya. Hingga para penjual bunga itu hafal, bunga apa yang hendak kubeli. Seikat mawar merah dan krisan ungu. Mereka sudah siapkan begitu melihat kedatanganku, bahkan sebelum aku mengatakannya.Â
Selalu bunga itu, ya, Thom. Mawar merah dan krisan ungu. Tak pernah berubah. Iya, kamu benar, kedua jenis bunga itu memang bunga kesayanganku.
Sore ini kulihat kamu pergi sendiri. Tanpa aku. Kakimu melangkah ringan menuruni anak tangga menuju kios bunga yang letaknya berada di lorong paling bawah.
Ah, Thom, hati-hati, awas terjatuh. Kakimu berkali tersandung lantai anak tangga yang tidak rata. Jangan berjalan sambil melamun, Thom.
"Mawar merah dan krisan ungu," ujarmu pada seorang pemuda penjual bunga langganan kita.Â
"Diikat seperti biasa, Mas?"
Kamu mengangguk.
"Tumben sendiri, Mas, mana Mbak cantiknya?" pemuda yang kamu ajak bicara itu menatapmu. Kamu tidak menyahut, hanya tersenyum. Lalu merogoh saku jaket dan menyerahkan dua lembar uang sepuluh ribuan.
Kini rangkaian bunga sudah berpindah ke tanganmu. Setelah mengucap terima kasih, kamu bergegas meninggalkan kios bunga. Menaiki anak tangga kembali. Kali ini langkahmu tidak seringan tadi. Sedikit gontai. Kenapa, Thom?
Kamu meraih motormu, menghidupkan mesinnya dan segera melaju di atas jalanan yang ramai. Oh, Thom, kamu mengendarai motormu terlalu kencang. Hati-hati! Kamu nyaris menyerempet lelaki tua yang tengah menyeberang jalan. Jangan mencari perkara, Thom, bisa-bisa kamu berurusan dengan Polisi.
Masih jauh, ya, Thom? Oh, kamu mulai berbelok arah. Mengambil jalan pintas. Dan kamu terus saja melaju tanpa memedulikan aku yang mengikutimu dari belakang. Kamu tidak tahu kan, Thom, kalau aku sedang membuntutimu? Â
Hei, Thom! Kamu mau kemana? Mengapa motormu berbelok ke arah yang tidak biasa?Â
Oh, Thom, mengapa tiba-tiba hatiku merasa sedih. Kukira kamu akan membawakan rangkaian bunga itu untukku...ternyata tidak.
Kamu menghentikan motormu tepat di depan pagar sebuah rumah. Itu rumah Rani. Bukan rumahku. Dan Rani, cewek cantik teman sekelasku itu berlari-lari riang menyambutmu.
"Thom! Kukira kamu nggak jadi datang..." wajah Rani bersemu merah. Kamu turun dari motormu dan menyerahkan rangkaian bunga di tanganmu.
"Oh, terima kasih, Thom! Aku suka mawar merah dan krisan ungu ini..." Rani mencium lembut rangkaian bunga darimu. Kamu tersenyum. Tampak bahagia.
"Itu tanda cintaku padamu, Rani," bisikmu seraya menatap Rani mesra.
Thom! Hatiku menjerit. Menjerit sekeras-kerasnya. Mengapa semudah itu kamu melupakan aku? Bukankah baru beberapa hari aku meninggalkanmu. Bukankah belum kering tanah pekuburanku?
Thom, aku cemburu!
Sebuah mobil pick up melaju dengan kencang dari arah utara. Sepertinya sopir mobil itu sedang mengantuk dan kehilangan kendali. Ups! Benda beroda empat itu menyasar ke arahmu. Maaf, Thom, kali ini aku tidak sempat mengingatkanmu.Â
Pick up itu menghantam dengan keras tubuhmu. Membuatmu terpental jauh, lalu jatuh tepat di dekat kakiku.
Thom...sekujur badanmu bersimbah darah. Wajahmu yang tampan tidak terlihat lagi. Orang-orang berlarian panik merubungmu. Sirine ambulan meraung-raung menjemputmu.
Thom, sekarang aku tak perlu lagi cemburu.Â
Dan satu lagi, persetan dengan bunga!Â
Kamu, Thom, ikut saja bersamaku....
***
Malang, 26 Maret 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI