Mendengar itu, Dee, aku tersipu. Benar-benar tersipu. Bagaimana mungkin bulan sampai tahu? Padahal senja di mana lelaki itu berlari mengejar keretaku, tak kulihat keberadaannya di langit.Â
"Aku mengintip kalian dari balik awan," ujar bulan seolah tahu apa yang tengah aku pikirkan.
"Lelaki konyol itu, hanya ingin memberiku kejutan," bisikku malu-malu. Bulan merangkul pundakku. Lalu mengecup pipiku dengan bibirnya yang tinggal separuh.
"Kau menyukainya?" bulan menatap wajahku. Aku terdiam.
"Bukalah hatimu. Dia telah dikirim Tuhan untuk menghapus air matamu."
***
Barangkali bulan benar, Dee. Lelaki itu telah dikirim Tuhan sebagai pelipur laraku.
Sejenak anganku menerawang jauh ke belakang. Pada kejadian di mana aku mesti pulang dan menelan kekecewaan. Ah, Dee, Jakarta yang riuh, tetiba saja terasa begitu sunyi. Aku telah kehilangan terlalu banyak di sini.Â
Aku belum menceritakan ini padamu, kan, Dee. Kereta senja yang membawaku pulang singgah sebentar di sebuah setasiun kecil. Setasiun yang sama sekali tak pernah terlintas dalam benakku.
Aku menempelkan wajah pada kaca jendela. Menatap langit yang masih saja muram. Saat itulah, Dee, ponselku berdering. Â
Lelaki itu, dia menelponku.