Pukul 19.00
Seorang pemuda memakai seragam berwarna merah menyala, mengetuk pintu apartemen---dan Lusia langsung bisa mengenalinya. Kurir pizza.
Lusia bergegas membuka pintu. Merogoh saku jaket dan menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. Pemuda berseragam merah menyala itu menggeleng.Â
"Seseorang sudah membayarnya, untuk Nona Lusia," ujarnya seraya menyodorkan kardus berwarna putih dengan hiasan pita berwarna merah. Lusia membaca kartu ucapan yang tertempel pada kardus pizza itu. Sedikit ragu. Siapa pengirim pizza ini? Tapi kemudian cuping hidungnya mengembang. Bau harum pizza mengalahkan rasa keingintahuannya.Â
"Baiklah, terima kasih," ia menerima kiriman itu riang. Kurir pizza pun bergegas pergi.
Jari-jari kurusnya bergerak lincah. Tutup kardus yang disemat dengan selotip berhasil dibuka menggunakan ujung kukunya yang runcing. Ia tersenyum. Membayangkan pizza bertabur sosis, mayones terbaik dan saus pedas yang menggugah selera.
Tapi mendadak senyumnya memudar. Saat kardus terbuka, bukan pizza yang dilihatnya. Melainkan sebentuk tulang rawan, berlekuk. Tipis.Terbungkus kulit berwarna coklat. Terdapat bulu-bulu halus di sepanjang tepiannya.
Diamatinya baik-baik benda itu. Ia mengernyitkan alis.
Astaga, ini daun telinga! Ia menahan napas.Â
Diamatinya sekali lagi. Benda itu memang bertabur sosis dan mayones. Juga saus yang yang meleleh di atasnya. Tapi saus itu tampak aneh. Disentuhnya dengan ujung jarinya. Lengket dan berbau anyir. Darah!
Seketika Lusia kepingin muntah.