Pacar kecilku, Ara, suka sekali duduk di tepi sungai. Memperhatikan aku yang sedang memandikan seekor sapi. Kaki mungilnya dibiarkan tercelup ke dalam air. Dan sesekali lututnya bergerak-gerak hingga menimbulkan bunyi kecipak.
Ara tak akan beranjak sebelum aku menggiring sapi naik ke daratan. Ia tahu aku akan menambatkan hewan itu untuk kemudian menghampirinya. Membimbing tangannya dan mengajaknya turun ke sungai. Mandi.
Selalu begitu. Hampir setiap hari kuhabiskan waktu bersama Ara dan sapi kesayanganku.
"Ahmed, kalau sudah besar aku ingin menikah denganmu," ujar Ara suatu hari. Aku tertawa.Â
"Memang Ara bisa tumbuh besar?" aku menggodanya. Ara cemberut. Bibirnya yang mungil maju beberapa senti.
"Supaya cepat besar, Ara akan banyak makan!" ia menyemangati dirinya sendiri.
***
Siang itu seperti biasa aku menunggu kemunculan Ara. Usai memandikan sapi aku berniat mengajaknya mencari bunga perdu yang tumbuh di sepanjang tepi sungai.
"Ahmed!" ada yang memanggilku. Aku menoleh.Â
Seorang pemuda seusiaku berjalan tergopoh menghampiri.
"Kamu melihat Ara?"
"Ah, sehari ini aku belum bertemu dia."
"Ara sejak pagi meninggalkan rumah. Sampai sekarang belum kembali."
Mendengar itu aku bergegas menggiring sapiku. Menuju pulang. Pikiranku gelisah tertuju pada Ara.Â
Apa yang telah terjadi padanya?Â
***
Ara mati.
Berita itu sangat mengagetkanku. Aku berdiri limbung di antara kerumunan orang yang tengah merubung jasad mungil pacar kecilku.
"Kenapa ia mati?" tanyaku bergetar.
"Ara dibunuh."
"Siapa yang tega membunuh dia?" kali ini aku menggeram.
"Seorang pemuda bernama Ahmed!"
Seketika orang-orang meringkusku. Ya, meringkusku. Bukankah Ahmed itu aku?
Kini aku meringkuk di sebuah kamar sempit berterali besi. Kaki dan tanganku terikat kuat-kuat. Â
"Tempat apa ini?" tanyaku letih.
"Rumah Sakit Jiwa. Ini tempat terbaik buatmu," seorang pria berseragam putih yang baru saja masuk ke dalam ruangan menjelaskan padaku.
"Rumah Sakit Jiwa? Memang aku gila?"
"Ya, kamu mengidap Multiple Identity Disorder."
"Apa itu?"
"Kamu memiliki kepribadian ganda. Kadang kamu merasa menjadi Ahmed, pemuda desa yang lugu. Kadang kamu berpikir dirimu adalah seekor sapi. Dan terakhir kamu mengaku menjadi gadis kecil bernama Ara yang mati dibunuh."Â
"Anda ini siapa?" tanyaku pada pria berseragam putih itu.
"Aku dokter yang bertugas di Rumah Sakit ini."
"Siapa nama Anda?"
"Ahmed."
Aku tertawa. Tertawa sangat keras. Hingga keluar air mataku.
"Kalau Anda Ahmed, lalu siapa sebenarnya aku?"Â
Tanya itu kutujukan pada dinding kamar yang berseragam putih.Â
***
Malang, 27 September 2016
Lilik Fatimah Azzahra
*Karya ini diikutsertakan dalam event Fiksi Horor dan Misteri FC
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H