Aku sering kesal terhadapmu. Mengapa kamu tak pernah bersikap mesra padaku? Kamu tidak menggandeng tanganku saat kita berjalan di muka umum seperti yang biasa dilakukan oleh para pria terhadap kekasihnya. Kamu juga tidak pernah bilang I Love you demi menunjukkan perasaanmu. Kamu biasa-biasa saja. Datar.
Aku suka iri mendengar cerita Rara atau Dewi tentang kekasihnya yang sangat romantis. Yang suka mengiriminya bunga pada setiap malam Minggu, atau mengajak dinner ke rumah makan yang mewah. Sedang kamu? Jangankan memberiku bunga, mengajak makan di warteg saja sekalipun belum pernah.
Kamu kekasih tercuek di dunia ini, menurutku. Saat bertemu denganku, kamu hanya membicarakan hal-hal yang menurutku sangat tidak menarik. Jauh dari kata romantis. Seputar dunia IT. Please, kamu tahu kan, aku ini gaptek. Jelas saja pembicaraan kita kadang kurang nyambung. Kalau sudah begitu, aku suka merutuki diriku sendiri. Kenapa juga aku jatuh cinta pada pria semacam dirimu?
"Ini bulan September. Bulan jadian kita. Nonton, yuk. Banyak film bagus," ajakku suatu sore saat kamu bertandang ke rumahku. Kamu terdiam. Sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
"Begini Nay, aku...."
"Ya, sudah kalau kamu sibuk nggak ada waktu."
"Bukan, Nay, bukan begitu," kamu berusaha menenangkanku.
Tapi aku sudah terlanjur merajuk.Â
Pernah suatu kali aku berbuat nekad demi mendapatkan perhatian darimu. Saat kita makan mie instan berdua di rumahku, aku sengaja menelan sendok yang kupegang.
"Uhuk..." aku tersedak. Responmu? Kamu hanya mengangkat alis. Cuma itu. Padahal saat itu mataku sudah hampir melompat keluar.Â
"Pelan-pelan maemnya. Sayang kan kalau sendoknya tertelan..." ujarmu akhirnya.
Sayang kalau sendoknya terlelan? Mengapa kamu nggak bilang, sayang kalau tenggorokanmu terluka atau....Hhh, ingin rasanya saat itu aku menelan talenan sekalian!
Beruntung aku memiliki tempat pelarian yang positip. Menulis. Ya, dengan menulis aku jadi lupa kalau punya kekasih cuek dan aneh sepertimu.
"Nggak istirahat dulu?" tegurmu ketika melihat aku masih bergeming di depan laptop.
"Tanggung. Cerpen ini harus rampung sekarang juga. Dikejar deadline."
"Tapi kamu sejak tadi belum makan."
"Aku sudah minum sereal."
"Itu nggak mengenyangkan."
Aku terdiam. Benar juga sih. Tapi saat ini menyelesaikan tulisan jauh lebih penting dari pada mengisi perut.
Tanpa terasa waktu terus bergulir. Tulisanku akhirnya rampung juga. Duh, karena keasyikan aku jadi melupakan kehadiranmu.Â
"Sudah selesai?" tanyamu.
"Kamu sejak tadi menungguku?" aku mengernyitkan alis. Kamu mengangguk dan tersenyum.
"Iya. Nungguin kamu sampai mengantuk."
Tiba-tiba aku merasa bersalah. Kutatap dirimu. Sudah berjam-jam kamu setia duduk di kursi panjang yang berada tepat di belakangku. Tanpa protes apapun.Â
"Mau kubuatkan kopi?" aku berdiri. Kamu mengangguk. Segera aku beranjak menuju dapur. Secangkir kopi panas dan sepiring singkong rebus kuhidangkan di hadapanmu.
"Kopi buatanmu enak," ujarmu seraya menyeruput isi cangkir. "Itulah sebabnya aku selalu menolak ajakanmu minum-minum di luar. Nggak ada yang bisa menandingi kopi buatanmu."
Seketika wajahku memerah dadu. Ah, kamu. Ternyata begitu ya, caramu mencintaiku.
September kali ini, kurasakan sangat berbeda. Sungguh, aku tidak menyesal ditakdirkan menjadi kekasihmu.
***
Malang, 16 September 2016
Lilik Fatimah Azzahra
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H