Beberapa odalisques seusiaku duduk berjejer di atas permadani empuk yang terbuat dari bulu-bulu domba. Cemilan kurma terhidang di atas meja berukir. Ruangan mewah bernuansa alami, dipenuhi kerlip lampu kristal dan wangi bunga-bunga seharusnya mampu membuat perasaanku nyaman. Tapi nyatanya tidak. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di ruangan ini, aku tak berhasil meredakan degup jantungku yang berpacu sangat kencang.Â
Seorang kasim memberi tanda padaku dengan anggukan kecil agar aku mendekat.
"Setelah ini giliranmu, bersiaplah," ujarnya seraya memutar telunjuk jarinya. Aku menyeka peluh yang mulai membasahi kening.
"Bergegaslah Azizah! Sultan tidak suka menunggu terlalu lama," setengah menghardik seorang perempuan bercadar menegurku. Kurapikan gamisku, menutupi sebagian wajahku dengan kerudung hingga tinggal mataku saja yang terlihat. Lalu dengan langkah gugup aku mengikuti kasim menuju sebuah ruangan besar.Â
Harem.
***
Beberapa menit aku berdiri terdiam bagai patung. Terpaku menatap sosok Sultan yang tengah duduk menyandarkan kepalanya di atas singgasana berornamen ukiran warna emas.Â
Sultan memandangiku dengan mata tak berkedip.
"Mendekatlah," telunjuk Sultan bergerak. Menghipnotisku. Aku beringsut maju. Berjalan sempoyongan hingga berdiri tepat di hadapannya.
Kami saling beradu pandang.
Sultan mengulurkan tangannya, mengangkat daguku. Lalu menarik kasar kerudung yang kukenakan dan melemparkannya begitu saja ke lantai. Rambutku yang ikal jatuh tergerai.
"Hmm, siapa namamu?"Â
"Azizah Tuan, budak Anda yang baru."
"Kamu sudah mendapat pelatihan?"
Aku mengangguk.
"Bagus. Berarti kamu sudah paham apa yang harus kamu lakukan jika aku berada di Harem ini."
Lagi-lagi aku mengangguk.
Sultan tersenyum puas. Ia mengelus jenggot panjangnya sejenak. Kemudian secara tiba-tiba ia berdiri dan meraih tubuhku ke dalam pelukannya.
"Tuan, bisakah Anda bersabar sedikit?" aku mulai berani menegurnya. Sultan mengendurkan pelukannya.
"Aku menginginkanmu," ujarnya dengan napas terengah.
"Saya masih ingin memanjakanmu, Tuan," ujarku seraya tersenyum nakal. Wajah Sultan seketika berubah. Pipinya yang keriput memerah seperti tomat.Â
"Kau budak paling berani yang pernah kutemui," diraihnya kembali tubuhku. Aku menepis tangannya secara perlahan.
"Dalam pelatihan saya diajarkan bagaimana harus melayani Tuan sebaik-baiknya. Bolehkah saya memijit punggung Tuan terlebih dahulu?"
"Lakukan."
Sultan melepas busananya. Merebahkan tubuh gembulnya di atas pembaringan yang super empuk. Sementara aku mengambil secawan minyak zaitun yang tergeletak di atas meja.
Setengah jam aku memijit Sultan. Nyaris seluruh tubuhnya sudah terjamah oleh tanganku. Kusisakan sedikit minyak zaitun untuk melemaskan jari-jariku sendiri. Lalu kupersilakan sang Sultan duduk kembali.
"Saya sudah melaksanakan tugas pertama saya," ujarku. "Sekarang tugas kedua saya adalah memandikan Tuan."
Sultan menurunkan kakinya dari pembaringan. Aku membantunya melilitkan handuk pada pinggangnya yang tak berbentuk. Kemudian kami berjalan beriringan menuju pemandian yang terletak di Harem bagian tengah.
Sabun yang terbuat dari rempah-rempah kugosokkan hati-hati pada punggung lelaki yang seumuran dengan ayahku itu. Ia benar-benar menikmatinya. Sangat menikmatinya. Hingga mata tuanya berkali mengerjap-kerjap.
"Siapa yang mengajarimu seterampil ini?" Sultan menoleh, memandangku takjub.
"Seorang perempuan yang sangat kukagumi," jawabku ringan. Sultan mengernyitkan alis.
"Siapa dia?"
"Oh, Tuan tak akan bisa mengingatnya. Bukankan para odalisques setelah tugasnya usai mereka harus pergi?"
"Seorang odalisques yang telah mengajarimu?"Â
Aku mengangguk.
"Dia seniormu?"
"Tuan berminat mengetahuinya? Baiklah. Tuan masih bisa mengingat peristiwa tujuh belas tahun yang lalu? Di pemandian ini, apa yang pernah Tuan lakukan pada seorang perempuan odalisques bernama Fatimah yang hamil karena melayani Tuan?"
Seketika wajah Sultan memerah. Serupa udang rebus. Kedua matanya menyala. Aku tersenyum.
"Rupanya Anda tidak akan pernah bisa melupakan dia, Tuan."
"Kau mengenal Fatimah?"
"Oh, tentu saja aku mengenalnya. Sangat mengenalnya."
"Apakah ia masih hidup?"
"Itu tidak penting, Tuan. Yang paling penting sekarang adalah, saya telah berhasil masuk ke dalam Harem ini dan bertemu dengan Tuan." Aku memegang kedua lengannya.Â
"Hhh...apa yang kamu lakukan?" suara Sultan terdengar bergetar. Tak kuhiraukan. Kepala Sultan sudah terlanjur kubenamkan ke dalam air berulang-ulang hingga ia tak bisa bernapas lagi.
Namaku Azizah. Aku seorang odalisques.Â
Dan aku datang untuk menuntaskan dendam ibuku.
***
Malang, 10 September 2016
Lilik Fatimah Azzahra
*Harem adalah sebuah ruangan terpisah yang diperuntukkan bagi para wanita pada zaman Khilafah Turki Ustmani. Tidak sembarang orang bisa memasukinya.
*Odalisques adalah sebutan untuk para budak yang dibawa masuk ke dalam Harem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H