Pagi ini aku memergoki rindu. Ia bersembunyi di dalam saku celana suamiku. Celana cargo yang memiliki banyak kantung di setiap sisi-sisinya.
Sewaktu suamiku terburu-buru meraih celananya itu, tiba-tiba rindu terjatuh. Bergedebum menggelinding di lantai.Â
Buru-buru suamiku memungutnya. Dengan hati-hati dimasukkannya kembali rindu ke dalam tempatnya semula.
"Aduuuh," sempat kudengar rintihan rindu. Aku terperangah.
"Tidak apa-apa, itu hanya bunyi perut laparku," suamiku meringis ke arahku. Mendengar itu bergegas aku menuju dapur. Menyiapkan sarapan pagi. Memanggang setangkup roti tawar dengan olesan mentega di atasnya. Beberapa irisan tomat dan sayur kuselipkan di antaranya.
Kini sarapan telah terhidang. Kulirik rindu. Ups, ia menyembulkan kepalanya. Matanya berkejap nakal mengintipku.
"Oh, mungkin aku butuh segelas kopi untuk penyemangat pagi," suamiku tersenyum ke arahku. Sementara tangannya sibuk menekan kepala rindu agar tak menampakkan diri.
Aku berdiri. Menuang dua gelas kopi. Satu untuk suamiku dan satunya lagi untuk diriku sendiri.
Saat meletakkan cangkir di atas meja, kulihat rindu kembali memperlihatkan kepalanya. Ia menoleh ke sana kemari. Membuat tangan suamiku kewalahan menahannya.
"Biarkan ia menunjukkan diri," ujarku menahan tawa. Seketika wajah suamiku memerah.Â
"Mungkin ia akan kembali tenang jika kau buatkan aku bekal untuk makan siang di pabrik nanti," sahutnya dengan senyum agak tersipu.
"Oh, maafkan aku," aku segera berdiri. Menatap suamiku berlama-lama. Merasa sangat bersalah karena selama ini aku mengabaikannya. Tidak pernah membawakan bekal untuknya. Aku selalu memintanya untuk membeli makanan cepat saji, yang tentu saja kurang baik bagi kesehatannya.
Nasi serta lauk pauk buatanku sendiri telah terbungkus rapi. Suamiku tampak sumringah. Tubuh kekarnya berdiri menghalangi ambang pintu.
"Apakah dia sudah tenang kini?" tanyaku seraya melirik kembali kantung celana cargonya. Sesuatu masih bergerak-gerak di sana. Aku menarik napas panjang. Apalagi yang harus kulakukan? Agar mahluk bernama rindu itu tak terus berulah?
"Ganti saja celanamu," ujarku akhirnya. Suamiku tertawa.
"Tidak, honey, ini celana kesayangan. Bukankah engkau sendiri yang telah menjahitkan untukku?"Â
"Jika begitu, lepas sebentar celanamu. Aku ingin menenangkan rindu yang sejak tadi mengganggumu," sergahku. Meski terlihat terpaksa, suamiku menurut juga.Â
Kuambil jarum dan gulungan benang. Kujahit kantung berisi rindu. Kupenjarakan ia di sana. Berharap mahluk itu tak berulah lagi.
"Sudah, pakailah kembali," kusodorkan celana cargo yang sakunya telah kujahit rapi. Sejenak suamiku terpana. Ditatapnya rindu, yang meski terkurung, tetap saja bergerak-gerak tiada henti.
"Apa lagi yang diinginkannya?" tanyaku mulai gerah.
Suamiku menatapku. Tersenyum lembut seraya merengkuh pundakku.
"Sebuah ciuman, honey. Akhir-akhir ini kau suka melupakannya."
Lalu, cup.Â
Pagi ini kulihat suamiku. Berangkat kerja dengan sepotong rindu meringkuk di dalam saku celana cargonya.
***
Malang, 08 September 2016Â
Lilik Fatimah Azzahra
*Ikuti Event Fiksi Rindu bersama Bolang 7-8 September 2016Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H