"Oh, maafkan aku," aku segera berdiri. Menatap suamiku berlama-lama. Merasa sangat bersalah karena selama ini aku mengabaikannya. Tidak pernah membawakan bekal untuknya. Aku selalu memintanya untuk membeli makanan cepat saji, yang tentu saja kurang baik bagi kesehatannya.
Nasi serta lauk pauk buatanku sendiri telah terbungkus rapi. Suamiku tampak sumringah. Tubuh kekarnya berdiri menghalangi ambang pintu.
"Apakah dia sudah tenang kini?" tanyaku seraya melirik kembali kantung celana cargonya. Sesuatu masih bergerak-gerak di sana. Aku menarik napas panjang. Apalagi yang harus kulakukan? Agar mahluk bernama rindu itu tak terus berulah?
"Ganti saja celanamu," ujarku akhirnya. Suamiku tertawa.
"Tidak, honey, ini celana kesayangan. Bukankah engkau sendiri yang telah menjahitkan untukku?"Â
"Jika begitu, lepas sebentar celanamu. Aku ingin menenangkan rindu yang sejak tadi mengganggumu," sergahku. Meski terlihat terpaksa, suamiku menurut juga.Â
Kuambil jarum dan gulungan benang. Kujahit kantung berisi rindu. Kupenjarakan ia di sana. Berharap mahluk itu tak berulah lagi.
"Sudah, pakailah kembali," kusodorkan celana cargo yang sakunya telah kujahit rapi. Sejenak suamiku terpana. Ditatapnya rindu, yang meski terkurung, tetap saja bergerak-gerak tiada henti.
"Apa lagi yang diinginkannya?" tanyaku mulai gerah.
Suamiku menatapku. Tersenyum lembut seraya merengkuh pundakku.
"Sebuah ciuman, honey. Akhir-akhir ini kau suka melupakannya."