Perempuan itu memiliki wajah berbentuk rindu. Matanya berbinar penuh rindu. Bibirnya manis mengulum rindu.Â
Siapakah dia? Oh, dia tinggal sendiri di pondok bernama rindu. Yang halamannya ditumbuhi bunga-bunga berbentuk hati. Bunga-bunga itu berwarna ungu dengan sulur-sulur keriting merambah hingga tepian beranda.
Aku suka sekali melihat dia, perempuan berwajah rindu itu. Kuperhatikan segala gerak-geriknya.Â
Pagi-pagi ia selalu menyeduh kopi yang beraroma rindu. Kemudian duduk bersila di atas tikar yang terbuat dari anyaman jerami.Â
"Bangunlah. Mari bersama menikmati pagi," ujarnya pada matahari yang masih meringkuk di bilik cakrawala. Lalu ia mengangkat cangkirnya tinggi-tinggi. Bersulang dengan matahari.Â
Selalu begitu. Setiap pagi.
Siang sedikit ia akan meninggalkan pondok rindu. Menuruni lereng lembah di kaki bukit. Di tangannya tertenteng tas kecil berwarna jingga. Tas yang berisi remah-remah roti sisa sarapannya tadi pagi.
Kakinya yang kurus melangkah lincah. Lembah rindu sudah menunggunya. Kupu-kupu dan rama-rama berterbangan riang di sekelilingnya. Berusaha mencuri ciuman dari pipinya yang bersemu dadu.Â
Beberapa kolibri terbang merendah. Berebut mematuki remah roti yang tercecer di atas tanah. Sementara di bawah pohon akasia, sekawanan kelinci menatap takjub pada perempuan berwajah rindu yang kini merebah di hampar rumput hijau.
Siang usai sudah. Perempuan berwajah rindu bersiap kembali ke pondoknya.
"Apa kabarmu, duhai senja?" ujarnya menyapa langit yang bersemburat merah.Â