Perempuan itu memiliki wajah berbentuk rindu. Matanya berbinar penuh rindu. Bibirnya manis mengulum rindu.Â
Siapakah dia? Oh, dia tinggal sendiri di pondok bernama rindu. Yang halamannya ditumbuhi bunga-bunga berbentuk hati. Bunga-bunga itu berwarna ungu dengan sulur-sulur keriting merambah hingga tepian beranda.
Aku suka sekali melihat dia, perempuan berwajah rindu itu. Kuperhatikan segala gerak-geriknya.Â
Pagi-pagi ia selalu menyeduh kopi yang beraroma rindu. Kemudian duduk bersila di atas tikar yang terbuat dari anyaman jerami.Â
"Bangunlah. Mari bersama menikmati pagi," ujarnya pada matahari yang masih meringkuk di bilik cakrawala. Lalu ia mengangkat cangkirnya tinggi-tinggi. Bersulang dengan matahari.Â
Selalu begitu. Setiap pagi.
Siang sedikit ia akan meninggalkan pondok rindu. Menuruni lereng lembah di kaki bukit. Di tangannya tertenteng tas kecil berwarna jingga. Tas yang berisi remah-remah roti sisa sarapannya tadi pagi.
Kakinya yang kurus melangkah lincah. Lembah rindu sudah menunggunya. Kupu-kupu dan rama-rama berterbangan riang di sekelilingnya. Berusaha mencuri ciuman dari pipinya yang bersemu dadu.Â
Beberapa kolibri terbang merendah. Berebut mematuki remah roti yang tercecer di atas tanah. Sementara di bawah pohon akasia, sekawanan kelinci menatap takjub pada perempuan berwajah rindu yang kini merebah di hampar rumput hijau.
Siang usai sudah. Perempuan berwajah rindu bersiap kembali ke pondoknya.
"Apa kabarmu, duhai senja?" ujarnya menyapa langit yang bersemburat merah.Â
Langit tersenyum, membalas tatapannya. Mataharipun cemburu dibuatnya.
Perempuan berwajah rindu menghentikan langkah. Memetik sekuntum bunga berbentuk hati. Diciumnya perlahan untuk kemudian disematkan di atas telinga.
***
Lagi, pagi ini aku melihatnya. Perempuan berwajah rindu itu. Tak seperti biasa. Ia belum beranjak dari duduknya. Juga tiada terlihat menyeduh kopi.Â
Kenapa?
Kuberanikan diri menghampirinya. Oh, matanya tampak sayu. Pipinya pucat dan bibirnya membiru.
"Apa yang terjadi padamu?" tanyaku ragu bercampur iba.Â
"Kamu?" ia terkejut melihatku. Pipinya yang pucat kembali merona. Sungguh, aku suka melihatnya.
"Buatkan aku kopi," ujarku renyah. Ia terperangah. "Lalu bangunkan juga matahari," lanjutku.
Pagi yang indah. Kami menikmati secangkir kopi rindu berdua. Seraya mengagumi keindahan taman bunga berbentuk hati.
Tetiba perempuan berwajah rindu menatapku.
"Tahukah kamu? Sudah lama aku merindukanmu," ujarnya lirih.
"Merindukanku?"
"Iya, merindukanmu. Apakah kamu lupa, bukankah aku ini kekasihmu?"
Sekarang, giliran wajahku yang tersipu.
***
Malang, 06 September 2016
Lilik Fatimah AzzahraÂ
*Ikuti Event Fiksi Rindu bersama Bolang di sini http://www.kompasiana.com/bolang-kompasiana/rindu-ikultilah-event-fiksi-rindu-di-kompasiana_57ccf7bcae7e612441eef16d
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H