Selalu. Cermin tua berbentuk oval dengan ukiran warna perak di sepanjang tepinya itu bergerak-gerak memanggilku. Sebenarnya aku enggan menghampirinya. Tapi ia tak akan berhenti menggelinjang sebelum aku datang.Â
"Hentikan! Ini sudah malam. Jangan mengumbar amarahmu seperti itu," aku menyeret langkahku dengan kesal.
"Kau mulai terlihat lamban," ia mengejekku.
"Yang benar, aku mulai terlihat tua," sergahku. Cermin oval itu tertawa. Aku mendekatkan wajahku. Memagut diri berlama-lama di hadapannya. Mula-mula muncul bayanganku. Hanya satu. Tapi beberapa menit kemudian wajahku terbelah. Menjadi dua.
"Hh, kau selalu memunculkan mereka. Dengan dua ekspresi yang berbeda," aku mengeluh.Â
"Bukankah itu sebenar-benarnya dirimu? Mm, maksudku...."
"Maksudmu aku ini munafik? Kerap menyembunyikan luka dalam balutan senyum? Kau tak usah sungkan mengatakannya," aku menatap cermin oval itu tak berkedip. Dua bayanganku pun ikut-ikutan menatapku tak berkedip.
"Hei, kalian berdua, jangan latah!" aku melebarkan mata. Kedua bayanganku seolah tak mendengar. Mereka juga melebarkan mata.
Aku ditakdirkan menjadi perempuan yang pasrah digauli waktu dan malam. Dalam rahimku telah tumbuh janin kata-kata akibat cumbu yang membara. Suatu ketika pernah kulahirkan seorang kakak yang bermata waktu, berhidung waktu, dan bertelinga waktu....
"Apakah itu puisi?" satu wajah yang berekspresi sedih berbisik padaku. Aku mengangguk.
"Tak perlu semelow itu. Nikmati saja hidupmu. Bersenang-senanglah selagi kamu bisa. Toh di luar sana tak seorangpun peduli, apakah kamu terluka atau bahagia," satu wajah yang berparas sumringah menimpali.
"Siapa bilang mereka tak peduli? Jangan dengarkan kata-katanya. Kau memiliki banyak teman di sekelilingmu yang memiliki telinga peka. Jika kau mau bicara, mereka dengan senang hati akan mendengarkanmu."
"Ah, mereka itu hanya berpura-pura. Tak ada yang benar-benar ikhlas di dunia ini."
"Sudah, hentikan! Kalian berdua membuat kepalaku sakit..." aku meraih cermin oval yang tergantung pada dinding kamarku itu dengan kasar. Meletakkannya di atas meja dalam posisi tertelungkup.Â
Selalu. Malam berakhir dengan perdebatan hati yang masai.
***
Aku memutuskan tak lagi menyentuh cermin oval itu. Kubiarkan ia tergeletak di atas meja. Tertelungkup. Aku harus segera mengakhiri semuanya.
Kulihat cermin oval bergetar hebat. Lalu berputar-putar. Mengeluarkan suara mendesing. Seperti gasing. Bising.Â
Aku tahu ia bermaksud mencari perhatian dariku. Tapi kali ini aku menguatkan hati tak ingin menghampirinya.
Praaang!!!
Cermin oval itu jatuh berkeping di atas lantai. Serpihannya berserak, halus serupa butiran kristal. Aku menarik napas lega.Â
Tak mungkin ia mampu menyimpan pantulan wajahku.
Yup, kini aku bebas. Tak akan kulihat lagi bayang wajahku yang terbelah.
Engkau ditakdirkan menjadi perempuan yang pasrah digauli waktu dan malam. Dalam rahimmu telah tumbuh janin kata-kata. Tak hanya satu. Beribu-ribu. Bahkan mungkin berjuta-juta. Mampukah engkau menjadi ibu bagi mereka?
Terdengar suara berbarengan melantunkan puisi itu. Mengagetkanku.
Aku menoleh.Â
Wajahku yang terbelah tahu-tahu sudah berdiri di belakangku.
***
Malang, 22 Agustus 2016
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H