Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Gadis Pengetuk Pintu

13 Agustus 2016   03:26 Diperbarui: 13 Agustus 2016   04:47 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia suka sekali menggangguku dengan ketukannya. Di setiap tengah malam saat aku hendak beranjak tidur. Ketukannya halus. Hanya tiga kali.

Tok, tok, tok. Sudah.

Ia tahu aku akan segera datang membukakan pintu. Melongokkan wajah dan tersenyum manis ke arahnya.

"Apa aku mengganggumu?" selalu itu yang ia tanyakan. Tentu saja aku menggeleng. Tak sampai hati mengatakan padanya bahwa mataku sebenarnya sudah sangat mengantuk.

"Kamu boleh mendengarkan kisahku sambil tiduran," ujarnya lagi seraya mendorong daun pintu perlahan. Menungguku mempersilakannya masuk. Sebelum itu kulakukan ia akan terus berdiri di ambang pintu. Memandangiku.

"Duduklah di kursi kesayanganmu," sahutku. Gadis itu mengangguk. Lalu berjalan menuju kursi goyang yang terletak di sudut ruangan.

Mataku semakin terasa berat. Kuhempaskan diri di atas sofa.

"Aku datang dari sebuah negeri yang sangat jauh," ia mulai bercerita. "Negeri di mana tinggal para penyair yang semuanya gila."

"Penyair yang semuanya gila?" mata beratku kembali terbuka.

"Ya, apakah itu tidak gila namanya? Mereka suka duduk menyendiri. Menggauli malam dan sunyi. Kadang tersenyum sendiri, tertawa, juga meneteskan air mata. Lalu bicara pada angin, hujan, bebatuan, awan, dan entah apalagi."

"Mereka tidak gila. Mereka mencintai alam."

"Tapi aku tetap berpikir mereka itu gila. Sama sepertimu. Bukankah kamu terkadang suka bicara sendiri dengan tulisanmu? Kamu menganggap setiap huruf itu hidup dan bernyawa."

Mendengar ucapannya aku tertawa.

"Oh, ya, Para penyair gila itu, juga kerap menulis tentang aku," ia melanjutkan kalimatnya seraya mengerjapkan mata.

"Tentang kamu?" aku mengernyitkan alis.

"Ya, tentang aku. Gadis pengetuk pintu yang kesepian."

"Hmm, kamu tidak kesepian lagi sekarang. Kan ada aku," aku menggodanya. Gadis itu tersenyum. Lalu merebahkan kepalanya pada sandaran kursi.

Aku beranjak dari dudukku. Menghampirinya. Tapi sejenak langkahku terhenti. Ia mengatupkan bibir dan kedua matanya. Berangkat tidur.

***

Sebenarnya siapa dia? Mengapa suka sekali datang menemuiku pada tengah malam? Baiklah, aku akan menceritakannya padamu.

Suatu malam saat udara gerah, kutinggalkan kertas-kertas coretanku yang berserak di atas meja. Aku keluar rumah untuk mencari udara segar. Kebetulan langit sedang cerah. Rembulan dan bintang tampak asyik bercengkarama entah sedang membicarakan apa.

Kakiku menapaki jalanan sepi.

Belum seberapa jauh melangkah, kulihat sosok mungil meringkuk di bawah pohon jambu yang tumbuh di seberang jalan. Kudekati ia. Ternyata seorang gadis. 

"Mengapa malam-malam kamu berada di sini?" tanyaku terheran. Gadis itu mengangkat wajahnya. Sorot matanya sendu. 

"Maukah kamu menolongku? Aku kedinginan," sahutnya dengan suara pelan. Sejenak aku terdiam. Menatap sosoknya yang menggigil.

"Ikutlah bersamaku. Akan kubuatkan teh hangat untukmu," akhirnya runtuh juga rasa ibaku. Kuulurkan tangan menyentuh pundaknya. Gadis itu tersenyum. Ia berdiri lalu mengikutiku berbalik menuju rumah.

Sejak saat itu ia suka sekali datang menyambangiku. Seperti malam ini.

Masih kupandangi ia. Tidurnya pulas. Kuraih selimut yang terlipat di atas sofa. Kututupi tubuh mungilnya yang meringkuk di atas kursi goyang. Aku tak ingin mengganggunya. Kubiarkan ia nyenyak dan merenda mimpi-mimpi indahnya.

*** 

Derit pintu membuatku menoleh. Dua orang berpakaian serba putih datang menghampiriku.  

"Bagaimana? Sudah merasa lebih baik?" salah satu dari mereka, pria yang mengenakan kaca mata bertanya ramah.  

"Belum Dokter. Saya masih sering melihat dia. Datang di tengah malam. Mengetuk pintu tiga kali dan duduk di kursi goyang," aku menjawab setengah mengeluh.  

"Itu hanya halusinasi. Ia akan menghilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Habiskan dulu obatnya. Nanti kita lihat perkembangan selanjutnya," dokter berkaca mata itu memeriksa denyut nadiku. "Pastikan ia tidak telat minum obat, ya, Suster," lanjutnya seraya menoleh ke belakang. 

Usai mencatat sesuatu pada selembar kertas dan meletakkannya di atas meja, dokter itu meninggalkan kamarku.

"Kamu mau minum obat sekarang?" perawat berseragam putih itu mendekatiku. Aku hampir saja mengangguk. Tapi urung. 

Mataku terbelalak. Ah, kenapa dia berada di sini? Gadis yang suka mengetuk pintu rumahku di tengah malam itu, kenapa sekarang menjelma menjadi suster di Rumah Sakit Jiwa ini?

***

Malang, 13 Agustus 2016

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun