Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Panah Cupid

15 Juli 2016   10:00 Diperbarui: 15 Juli 2016   13:45 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senja yang cerah. Cupid rebahan di atas awan. Dibiarkannya angin berhembus perlahan, menggiringnya hingga berhenti tepat di atas sebuah taman.

Beberapa orang duduk bersantai menikmati langit yang merona jingga. Cupid bergegas bangun. Suara tawa bocah-bocah membuatnya ingin turun. Ia melompat dari gumpalan awan. Dihampirinya sepasang manula yang tengah duduk berdampingan. 

Cukup lama Cupid berdiri di belakang mereka. Ia menunggu. Tapi tak terdengar suara apapun. Kedua manula itu mematung. Saling tertunduk diam. 

Melihat gelagat tak nyaman serupa keterasingan membuat hati Cupid tercubit. Ia menarik busur panah yang tak pernah lepas dari punggungnya. Dengan gerakan halus ia mulai membidik. Mengarahkan anak panah di tangannya tepat mengenai jantung pasangan yang sudah uzur itu.

Jleb!

"Tahukah kau, Honey? Berapa usia senja?" tanya pria manula itu, tiba-tiba. Seraya memegangi dada kirinya yang berdesir. Sang wanita yang tengah melamun sedikit terkejut. Ia menggeleng. Wajah mungilnya bersemu merah.

"Senja seumuran dengan hati kita, Honey. Sepantaran dengan perasaan kita," bisik sang pria, menjawab pertanyaannya sendiri. Jemarinya yang keriput bergerak gemetar. Meraih tangan mungil yang sejak tadi terkatup. Lalu digenggamnya tangan itu dengan hangat. Dan suasana senja pun mulai mencair. Tak lagi bisu.

Cupid menarik napas lega. Ia berjalan melenggang. Meninggalkan sepasang manula itu dengan hati riang.

***  

Pandangan Cupid mengarah pada sepasang muda-mudi yang duduk di sudut taman. Posisi mereka saling membelakangi.

"Bolehkah aku berterus terang?" ujar lelaki tampan yang mengenakan jaket berwarna biru tua dengan kedua alis bertaut.

"Aku siap mendengarkan!" sang wanita menyahut. Ketus.

"Sepertinya kita tak bisa..." lelaki itu tampak ragu. Ia tak berani melanjutkan kalimatnya. Dipandanginya punggung cantik yang merajuk itu berlama-lama. Tetiba jantungnya berdebar. Hebat. Serasa dipenuhi oleh cinta. Oh, kiranya Cupid telah melesatkan anak panahnya tepat pada dada sepasang kekasih itu.

"Kita... ternyata tak bisa saling melupakan," sang lelaki tanpa sadar berkata lirih. Ia menggeser duduknya. Lalu tangan kekarnya merengkuh tubuh ramping yang membelakanginya itu. Dengan sepenuh kasih disekanya mendung yang menggayut pada paras kekasihnya. Sang wanita tergugu. Ia menyusupkan kepalanya di atas dada bidang yang dirindukan. Lumer sudah segala bentuk rajuk dan kemarahan. 

Huft, dari jauh Cupid menghela napas panjang. 

"Yah, begitulah cinta. Selalu, ia hadir di semua pemilik hati sebagai pemenang," bisik Cupid, pada senja seraya menyembunyikan sebentuk senyuman.

***

Langit kian temaram. Sang dewa cinta menengadahkan kepalanya. Mencari-cari setitik awan yang barangkali sempat tertinggal di hampar luas cakrawala. 

Taman kota pun mulai senyap ditinggal satu persatu pengunjungnya.

Cupid bersiap mengepakkan kedua sayapnya. Tugasnya telah usai. Ia harus kembali, pulang, ke nirwana tempat bermukim para dewa perajut cinta.

Tapi sesaat pandangannya teralih. Tercuri oleh sosok wanita yang meringkuk di atas rerumputan. Cupid menguncupkan lagi kedua sayapnya.

Ia menelengkan kepala. Setengah berjinjit didekatinya wanita itu.

"Cintakah yang tengah engkau pikirkan?" Cupid bertanya hati-hati. Wanita yang tengah memeluk kedua lututnya itu terperanjat. Tapi hanya sesaat. Kemudian dengan mimik tak berubah ia mengangguk.

"Kepada siapa anak panah ini harus kulepaskan?" Cupid menyentuh pundak wanita itu dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya siap mencabut satu anak panah yang masih tersisa. Wanita itu tidak menyahut. Ia membalikkan badan. Menatap Cupid dengan mata sendu.

"Tancapkan saja di sini, di jantungku," akhirnya bibir wanita itu bergerak. Kelu. Cupid mengangguk. Ia mulai menarik busur anak panah di tangannya. Perlahan. Sangat perlahan.

Jleb!

Wanita itu jatuh tersungkur. Tubuhnya mengejang. Wajahnya membiru.

Cupid melepas rangkai bunga yang melingkar di kepalanya.

Ditaburkannya bunga-bunga itu di atas jasad sang wanita. Sebagai penghormatan terakhir. 

"Terkadang cinta, bisa juga menjadi pembunuh..." Cupid menggumam sedih. 

***

Malang, 15 Juli 2016

Lilik Fatimah Azzahra

 

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun