"Aku siap mendengarkan!" sang wanita menyahut. Ketus.
"Sepertinya kita tak bisa..." lelaki itu tampak ragu. Ia tak berani melanjutkan kalimatnya. Dipandanginya punggung cantik yang merajuk itu berlama-lama. Tetiba jantungnya berdebar. Hebat. Serasa dipenuhi oleh cinta. Oh, kiranya Cupid telah melesatkan anak panahnya tepat pada dada sepasang kekasih itu.
"Kita... ternyata tak bisa saling melupakan," sang lelaki tanpa sadar berkata lirih. Ia menggeser duduknya. Lalu tangan kekarnya merengkuh tubuh ramping yang membelakanginya itu. Dengan sepenuh kasih disekanya mendung yang menggayut pada paras kekasihnya. Sang wanita tergugu. Ia menyusupkan kepalanya di atas dada bidang yang dirindukan. Lumer sudah segala bentuk rajuk dan kemarahan.Â
Huft, dari jauh Cupid menghela napas panjang.Â
"Yah, begitulah cinta. Selalu, ia hadir di semua pemilik hati sebagai pemenang," bisik Cupid, pada senja seraya menyembunyikan sebentuk senyuman.
***
Langit kian temaram. Sang dewa cinta menengadahkan kepalanya. Mencari-cari setitik awan yang barangkali sempat tertinggal di hampar luas cakrawala.Â
Taman kota pun mulai senyap ditinggal satu persatu pengunjungnya.
Cupid bersiap mengepakkan kedua sayapnya. Tugasnya telah usai. Ia harus kembali, pulang, ke nirwana tempat bermukim para dewa perajut cinta.
Tapi sesaat pandangannya teralih. Tercuri oleh sosok wanita yang meringkuk di atas rerumputan. Cupid menguncupkan lagi kedua sayapnya.
Ia menelengkan kepala. Setengah berjinjit didekatinya wanita itu.