"Ketika seusia dirimu, kisanak, aku juga kerap dilanda masalah. Terutama masalah keluarga. Hidupku kacau balau. Ekonomi keluarga amburadul, istri mulai cerewet, suka uring-uringan, mana pencemburu lagi," lelaki sepuh itu bicara dengan pandangan tetap lurus ke arah depan.Â
Rahman terdiam.Â
Ia jadi teringat Sumi. Istrinya itu juga sangat cerewet, mudah sekali marah dan pencemburu. Rahman mengernyitkan alis. Jangan-jangan lelaki di sampingnya ini sedang menyindirnya.Â
Rahman berdehem.
"Tapi semuanya tergantung diri kita sendiri, kisanak, bagaimana kita menyikapi setiap masalah yang datang bertamu. Sekiranya kita tidak mampu mengatasinya, ya, segera mohon petunjuk kepada Allah. Ingat, hanya kepada Allah," tutur laki-laki itu seolah tahu apa yang tengah berkecamuk di hati Rahman.
Suasana kembali hening. Lelaki sepuh itu tak lagi bicara. Rahman membetulkan letak duduknya. Ia bersila. Memejamkan matanya kembali. Hatinya mulai berinteraksi. Tertuju pada sang Maha Penyayang. Khusuk dengan untaian zikir dan doa-doa.
***
Terdengar suara anak kunci diputar. Pintu masjid terbuka perlahan. Hasan, pemuda kampung yang bertugas sebagai muazin sekaligus marbot masjid tercengang saat melihat ada seseorang duduk bersila di dekat mihrab. Ia menajamkan pandangannya.Â
Hasan meneliti serentengan kunci di tangannya. Bagaimana cara laki-laki itu masuk ke dalam masjid yang keadaannya terkunci? Mungkinkah ia memiliki kunci duplikat?
Karena penasaran, Hasan beringsut maju.Â
"Assalamualaikum, Mas Rahman..." Hasan mengucap salam.