Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

I'tikaf

2 September 2016   06:16 Diperbarui: 2 September 2016   07:36 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu menunjukkan pukul 12 malam. Mungkin baginya lebih baik melakukan i'tikaf di dalam masjid, bermuhasabah, mendekatkan diri kepadaNya, dari pada duduk melamun dengan pikiran kosong. 

"Mas Rahman mau kemana?" Sumi, istrinya, mencegatnya di ambang pintu.

"Aku pamit beri'tikaf," ia menjawab singkat.

"Berapa lama?" 

"Sampai waktu sholat subuh tiba."

Ia meraih sandal jepit yang tergeletak di atas keset, membetulkan letak sarung dan kopiah. Lalu tanpa memedulikan wajah istrinya yang memberengut, ia bergegas menuju masjid yang berjarak hanya beberapa meter dari rumahnya.

***

Usai mengambil air wudhu, ia memasuki masjid dengan tenang. Air mukanya tidak sekusut tadi.  

Ternyata ia tidak sendiri. Dilihatnya seorang lelaki sepuh duduk bersila di dekat mihrab. Lelaki itu tampak khusuk memanjatkan doa.

Usai melakukan sholat sunah ia duduk menjejeri lelaki sepuh yang masih bergeming di tempatnya. 

"Terkadang  wadul  kepada Allah lebih menenangkan ketimbang kepada manusia," lelaki di sampingnya itu bergumam. Rahman seketika menoleh. 

"Ketika seusia dirimu, kisanak, aku juga kerap dilanda masalah. Terutama masalah keluarga. Hidupku kacau balau. Ekonomi keluarga amburadul, istri mulai cerewet, suka uring-uringan, mana pencemburu lagi," lelaki sepuh itu bicara dengan pandangan tetap lurus ke arah depan. 

Rahman terdiam. 

Ia jadi teringat Sumi. Istrinya itu juga sangat cerewet, mudah sekali marah dan pencemburu. Rahman mengernyitkan alis. Jangan-jangan lelaki di sampingnya ini sedang menyindirnya. 

Rahman berdehem.

"Tapi semuanya tergantung diri kita sendiri, kisanak, bagaimana kita menyikapi setiap masalah yang datang bertamu. Sekiranya kita tidak mampu mengatasinya, ya, segera mohon petunjuk kepada Allah. Ingat, hanya kepada Allah," tutur laki-laki itu seolah tahu apa yang tengah berkecamuk di hati Rahman.

Suasana kembali hening. Lelaki sepuh itu tak lagi bicara. Rahman membetulkan letak duduknya. Ia bersila. Memejamkan matanya kembali. Hatinya mulai berinteraksi. Tertuju pada sang Maha Penyayang. Khusuk dengan untaian zikir dan doa-doa.

***

Terdengar suara anak kunci diputar. Pintu masjid terbuka perlahan. Hasan, pemuda kampung yang bertugas sebagai muazin sekaligus marbot masjid tercengang saat melihat ada seseorang duduk bersila di dekat mihrab. Ia menajamkan pandangannya. 

Hasan meneliti serentengan kunci di tangannya. Bagaimana cara laki-laki itu masuk ke dalam masjid yang keadaannya terkunci? Mungkinkah ia memiliki kunci duplikat?

Karena penasaran, Hasan beringsut maju. 

"Assalamualaikum, Mas Rahman..." Hasan mengucap salam.

"Waalaikum salam," Rahman menoleh. "Oh, Hasan. Sudah waktunya azan subuh, ya?" 

"Iya, Mas," Hasan menyahut seraya menatap lelaki itu tak berkedip. "Mm, bagaimana Mas bisa masuk ke sini? Usai solat isya tadi saya mengunci pintu masjid ini rapat-rapat dari luar.".

"Benarkah?" Rahman mengernyitkan alis. "Ketika aku datang, masjid sudah dalam keadaan terbuka. Makanya aku bisa masuk ke sini dengan leluasa,"  Rahman berdiri. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Matanya mencari-cari sesuatu. 

"Eh, kemana dia, ya? Apakah kamu melihat orang itu?" 

"Siapa Mas?"

"Lelaki sepuh itu. Beliau tadi duduk beri'tikaf di sebelahku."

Hasan terdiam. Air mukanya berubah. Hmm, jadi lelaki sepuh itu. Pantas saja, ia bergumam.

"Ada apa?" Rahman menatap Hasan.

"Tidak ada apa-apa, Mas."

"Jadi kamu melihat Pak Tua itu pergi?" desak Rahman. Terpaksa Hasan mengangguk. 

Tentu saja pemuda bernama Hasan itu tak mau mengatakan terus terang siapa sesungguhnya lelaki sepuh itu. Ia menyimpan rahasia rapat-rapat.

Ssst, tapi aku tahu, siapa sebenarnya dia. lelaki sepuh itu. Ia adalah jin muslim yang kerap muncul di dalam masjid pada tengah malam. Ia-lah yang membukakan pintu buat Rahman. 

Kok aku bisa tahu? Tentu saja. Karena aku ini adalah anak Jin sepuh itu.

***

Malang, 02 September 2016

Lilik Fatimah Azzahra

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun