Sesaat kesunyian menguasai. Suara tembakan pun mereda. Dua laki-laki itu menghampiri tiga remaja yang masih tengkurap di atas lantai.
"Bangun kalian! Jangan coba-coba melawan. Masih tersisa banyak peluru di sini," lelaki yang memegang senapan mengancam. Sementara lelaki satunya menarik bangku panjang dan duduk dengan tenang sembari menghidupkan rokok.
Panji dan Bagaskara masih belum beranjak. Hanya saling melirik. Saling memberi kode.Â
Dalam hitungan detik, secara tiba-tiba kedua anak muda itu melompat dan menyerang dua laki-laki di hadapan mereka.
Pertarungan sengit pun tak dapat dihindarkan. Bagaskara berhasil merampas senapan dari tangan musuhnya. Sedangkan Panji dengan mudah meringkus laki-laki yang baru saja duduk di atas bangku.
Kini keadaan terbalik. Kedua penjahat berada dalam genggaman remaja-remaja itu.
Galuh gemetar. Ia tidak berani mendekat. Gadis itu memilih berdiri di pojok ruangan.
"Galuh, bisakah kau kembali ke kebun pisang? Ambilkan pelepah batangnya yang agak mengering. Aku membutuhkannya," Bagaskara menoleh ke arah Galuh. Gadis itu mengangguk. Lalu pergi meninggalkan pondok. Sebentar kemudian ia kembali dengan pelepah pisang setengah kering di tangannya.
Bagaskara segera mengikat kedua penjahat itu menggunakan suwiran pelepah pohon pisang. Â
"Aku bisa saja membunuh kalian," Bagaskara menatap kedua penjahat itu,"tapi tidak akan kulakukan. Sebagai ganti nyawa kalian, katakan kepada kami, mengapa kalian memburu pasien Dokter Marwan itu."
Kedua penjahat membisu.
"Oh, rupanya kalian lebih suka aku harus menggunakan kekerasan, ya?" Bagaskara mendekatkan moncong senapannya tepat di pelipis salah seorang penjahat itu.
"Ba-iklah...jauhkan senjata ini. Aku akan menceritakan semua padamu..." salah seorang dari penjahat itu berkata gemetar.
"Bro! Jangan! Jika kau buka rahasia itu, Big Bos akan membunuh kita!"
Bagaskara menggerakkan jemarinya. Ia siap menarik pelatuk senapan di tangannya.
"Kalian lebih memilih mati di tanganku?"
"Oke, oke..kami akan bicara!"
Akhirnya kedua penjahat itu menyerah.
***
Salah seorang penjahat mulai bertutur.
"Kami diperkenalkan seorang teman pada pria yang tidak kami ketahui namanya. Kami wajib memanggilnya Big Bos. Pria itu meminta jasa kami untuk menghabisi nyawa seorang perempuan..." laki-laki itu berhenti sejenak.
"Si-apa nama perempuan itu?" Panji merangsek maju. Tiba-tiba saja hati pemuda itu merasa was-was. Ia teringat pada Bunda Fatima yang beberapa hari ini menghilang.
"Kami tidak tahu siapa nama perempuan itu. Tugas kami hanya...."
"Kalian biadab!" Panji menggeram.
"Tenanglah dulu, Panji. Biarkan laki-laki ini menceritakan semuanya," Bagaskara menggendikkan kepalanya ke arah Panji.
"Kami benar-benar tidak tahu siapa perempuan itu. Saat dipertemukan dengan kami, ia dalam keadaan terikat dan mata tertutup."
"Lanjutkan!" Panji berseru tidak sabar.
"Kami mendapat perintah untuk membuang perempuan itu ke jurang setelah...."
"Setelah apa?"
"Setelah terlebih dulu ia mengalami penganiayaan."
"A-pa yang sudah kalian lakukan pada perempuan itu?!" napas Panji mulai tersengal.
"Bukan kami yang melakukannya. Big Bos sendiri yang menyiksa perempuan itu."
"Kalian masih ingat apa yang diucapkan Big Bos saat menganiaya perempuan itu?" Bagaskara menyela. Kedua laki-laki yang terikat itu saling menatap.
"Kami hanya mendengar satu kata ketika tubuh perempuan itu kami dorong ke luar mobil."
"Apa itu?"
"Enyahlah kau ke neraka, Fatima!"
Seketika Panji melompat dan mencekik leher salah seorang laki-laki penjahat itu. Pemuda itu meraung. Ia mengerahkan seluruh kekuatannya.
"Panji hentikan!" Bagaskara mencoba melerai. Agak kewalahan ia meredakan kemarahan Panji yang sudah tidak terkendali.
"Panji, dengarkan! Kita masih membutuhkan keterangan lebih banyak lagi dari orang ini."
Perlahan Panji melepaskan cekikannya. Lalu dengan kasar ia menendang meja kayu di hadapannya hingga terguling.Â
Tubuh pemuda itu bergetar. Beberapa detik kemudian ia menjatuhkan dirinya di lantai.
"Kalian tahu? Perempuan itulah yang sedang aku cari. Bunda Fatima!" Panji memukulkan tinjunya berulang-ulang.
Bagaskara dan Galuh saling berpandangan.
Baru kali ini mereka menyaksikan, seorang Panji menangis berurai air mata bagai bocah kecil.
Bersambung....
***
Malang, 08 Juni 2016
Lilik Fatimah Azzahra
*Karya ini diikutkan Tantangan 100 Hari Menulis Novel FCÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H