Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[100HariMenulisNovelFC](#35) Sang Pelarian

4 Juni 2016   03:47 Diperbarui: 4 Juni 2016   03:52 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah sebelumnya http://fiksiana.kompasiana.com/elfat67/100harimenulisnovelfc-34-sang-pelarian_574f6fd1d47e61ce04b34dfe

Moncong senapan mengobrak-abrik tumpukan jerami. Suasana jadi berantakan. Kedua penjahat tampak sangat bersemangat. Berharap menemukan dua perempuan yang diburu bersembunyi di dalamnya.

Tapi hingga tumpukan jerami itu menipis, tak juga ditemukan sosok yang dicari.

"Sialan! Kita tertipu!" salah seorang dari penjahat itu mengumpat. Sementara yang lain sibuk menatap sekeliling. 

"Kamu benar, Bro! Buruan kita kabur lewat dinding yang bolong di bawah meja ini." 

Lalu keduanya keluar pondok setelah terlebih dahulu menendang meja dan bangku panjang sebagai ungkapan rasa kesal.

"Kita lanjutkan perburuan ini, Bro?"

"Lanjut! Aku lebih suka menyusuri hutan ketimbang berurusan dengan Big Bos kita yang hobi main gampar itu."

***

Istri Dokter Marwan berjalan tertatih. Kakinya mulai lecet di sana-sini. Ia hampir tak kuat lagi meneruskan perjalanan. Tapi semangatnya muncul saat teringat dirinya dalam pengejaran dua penjahat berbahaya.

Ia sudah berjalan cukup jauh. Diikutinya jalan setapak yang kian lama kian melebar. Hati perempuan itu bersorak. Ia melihat sebuah sungai kecil yang mengalir jernih. Instingnya mulai bekerja. Disisirnya tepi sungai. Ia yakin akan segera menemukan  sebuah perkampungan.

Dan benarlah. Beberapa ratus meter ke depan, istri dokter ahli bedah itu mulai mendengar kecipak air dan riuh percakapan beberapa perempuan yang tengah mandi di sungai.

Diayunkan langkahnya lebih cepat. Begitu melihat mereka, perempuan itu pun berteriak.

"Tolong! Tolong aku!"

Usai berseru demikian, istri Dokter Marwan yang sudah lelah itu ambruk tak sadarkan diri.

***

Waktu berjalan sangat cepat. Matahari semakin lingsir ke tepi senja. Tampak beberapa perempuan menggotong tubuh seseorang yang tengah pingsan. Mereka membawanya ke sebuah rumah di perkampungan.

 Setelah mendapat pertolongan, perempuan yang pingsan itupun siuman. Ia menceritakan apa yang terjadi. Seseorang meminjamkan ponsel. Dengan  tangan gemetar ia segera menghubungi suaminya.

"Pi! Ini aku!"

"Mami? Cepat katakan Mami di mana?" terdengar balasan dari seberang.

"Pi, cepat jemput Mami. Catat alamat ini...."

Dan sore itu juga, Dokter Marwan dengan perasaan membuncah siap menjemput istrinya yang dua hari ini telah menghilang.

*** 

Ketiga remaja berjalan cepat menyusuri hutan. Tak peduli meski hari kian bertambah gelap. 

"Perasaan kita berjalan memutar, deh!" Bagaskara bersuara memecah kesunyian. Ketiganya sontak berhenti. 

"Ini arah kembali ke pondok tua itu!" Bagaskara melanjutkan. Dengan mata terpicing, Galuh mengamati sekitarnya. Benar. Ia melihat pohon pisang yang siang tadi diambil buahnya.

Akhirnya dengan terpaksa mereka sepakat menuju pondok tua. Untuk sementara pencarian terhadap ibunya Galuh dihentikan.

Panji mendorong pintu pondok yang mengatup. Pemuda itu membelalak kaget. Keadaan pondok porak poranda tak seperti saat ditinggalkan.

"Ada yang mampir ke pondok ini!" serunya. Bagaskara seketika menyeruak masuk diikuti oleh Galuh.

" Jangan-jangan para penjahat itu..." Galuh berbisik setengah gemetar. Panji dan Bagaskara saling berpandangan.

"Jadi benar mereka memburumu?" Panji melirik ke arah Galuh yang tampak pucat karena takut dan kelelahan. 

'Seperti yang telah kuceritakan pada kalian. Para penjahat itu menginginkan barter nyawa kami."

"Barter?" Panji dan Bagaskara bertanya berbarengan.

"Ya, mereka ingin menukar kami dengan pasien perempuan itu."

'Pasien perempuan? Kamu belum menceritakannya pada kami," ujar Panji seraya membetulkan letak bangku yang terguling.

"Ayah angkatku, seorang dokter ahli bedah. Ia mempunyai pasien perempuan yang telah mengalami penganiayaan. Seluruh wajahnya rusak. Bersama tim dokter ayah berusaha menyelamatkan perempuan itu."

"Lalu apa hubungannya dengan kalian?" Bagaskara menatap Galuh heran.

"Para penjahat sengaja menculik kami supaya ayahku mau mengembalikan pasien perempuan itu pada mereka. Entah apa motifnya. Aku sendiri tidak tahu." Galuh duduk menjejeri Panji.

"Ah, dunia ini. Di manapun kita tinggal, kejahatan selalu ada." Panji mengepalkan tinjunya. Ia teringat pelariannya dari dimensi lain. Ia teringat kejahatan yang dilakukan oleh para petinggi kerajaan Panjalu terhadap bumi Jenggala.

"Tunggu! Pasien perempuan itu, kamu tahu siapa namanya?" tiba-tiba Panji terlonjak. 

"Ia ditemukan oleh seorang lelaki tua di tepi sebuah jurang tanpa identitas apapun," Galuh menggeleng lemah.

Panji tampak kecewa. Suasana hening sejenak. 

Tapi keheningan itu lenyap ketika terdengar seseorang berdehem. Ketiga remaja itu menoleh. Dua lelaki tegap telah berdiri di ambang pintu.

Salah satu dari lelaki itu membidikkan senapannya dan siap menarik kokang.

Lalu, dor! 

Dor! Dor!

Tembakan beruntun menyebabkan ketiga remaja itu jatuh bergulingan di lantai!  

Bersambung....

***

Malang, 04 Juni 2016

*Karya ini diikutsertakan Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun