Dok.Pribadi
Lelaki itu berdiri di seberang jalan dengan payung merah di tangan kirinya. Pandangannya menyeruak di antara hujan. Entah siapa yang tengah ditunggunya.Â
Hujan perlahan mulai mengikis. Jalanan tak lagi sepi. Lalu lalang kendaraan pun mulai ramai. Tapi lelaki berpayung merah itu tak juga beranjak.
Sebuah mobil melaju dengan cepat. Rodanya melibas kubangan sisa hujan yang baru saja berhenti. Cipratannya mengenai celana lelaki berpayung merah itu. Kotor dan basah. Tapi lelaki itu bergeming. Tetap diam mematung. Hanya payung merah di tangannya bergoyang sedikit tertiup angin.
"Siapa dia?" tanyaku pada tukang cukur yang mangkal di bawah pohon. Aku menunjuk ke arah lelaki berpayung merah di seberang jalan.
"Oh, dia. Namanya Yanto." Tukang cukur itu mengikuti pandanganku.
"Mengapa ia tetap berdiri di situ?" tanyaku lagi. Tukang cukur itu menghela napas. Tangan keriputnya sibuk merapikan alat-alat cukur dan memasukkan ke dalam tas usang di hadapannya.
"Ceritanya panjang," tukang cukur siap meraih tasnya dan meletakkannya di atas boncengan sepeda bututnya.
"Jangan pergi dulu, Pak. Saya ingin mendengar cerita panjang mengenai lelaki berpayung merah itu..." aku menahan kepergian tukang cukur tua itu. Tukang cukur itu menatapku sejenak.Â
"Aku terburu-buru," ujarnya seraya menuntun sepeda ontel yang sama tuanya dengan dirinya.
"Pak, persingkat ceritanya..." pintaku setengah memaksa.
"Baiklah," akhirnya tukang cukur tua itu mengalah.Â
Aku tersenyum. Siap mendengar cerita tukang cukur tua itu mengenai lelaki berpayung merah yang masih berdiri di seberang jalan.
"Sebulan yang lalu, di suatu sore seperti ini, hujan turun sangat deras. Seorang lelaki dan perempuan muda tengah berjalan beriringan di pinggir jalan. Tiba-tiba sebuah mobil avanza melaju dengan kecepatan tinggi. Sepertinya pengendaranya sedang mengantuk. Mobil itu menyerempet kedua pasangan yang tengah berjalan beriringan itu. Mereka terpental. Si lelaki berhasil selamat. Tapi si perempuan..." tukang cukur tua itu tak melanjutkan kalimatnya. Bergegas ia meraih sepeda tuanya dan berlalu meninggalkanku.
Aku tergugu. Menatap lelaki berpayung merah dari kejauhan.
Sementara lelaki tua tukang cukur itu mengayuh sepeda tuanya dengan kaki gemetar.
"Duh Gusti, besok-besok aku nggak mau lagi mangkal di bawah pohon beringin angker itu. Jinem! Jinem! Ambilkan aku air putih. Aku baru saja bertemu dan berbicara dengan hantu perempuan yang terserempet mobil itu...."
***
Malang, 06 Mei 2016
Lilik Fatimah Azzahra
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H