Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[100HariMenulisNovelFC](#26) Sang Pelarian

30 April 2016   07:53 Diperbarui: 30 April 2016   08:22 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi: id.tubgit.com

Kisah sebelumnya  

Hari semakin gelap. Untunglah langit sedang cerah dan rembulan bersinar terang ditemani bintang-bintang.

Aku mengeluarkan si Coklat dari kandangnya. Hewan itu sudah mulai akrab denganku. Ia menurut saja ketika aku menggiringnya menuju halaman. Aku memang sengaja meminjam si Coklat untuk menemaniku karena aku tahu kuda memiliki penciuman dan insting yang sangat tajam. Selain itu si Coklat sudah mengenal baik Bunda Fatima dan Cinta. 

"Aku mengandalkanmu," bisikku di telinga si Coklat.

Pak tua menghampiriku. Lalu menyodorkan pelana kuda.

"Hati-hati di jalan, Nak," Pak tua menepuk pundakku. Tangan keriputnya membantuku memasang pelana kuda dengan teliti. Setelah itu ia beralih mengelus punggung si Coklat. 

"Jadilah pengawal yang baik bagi pemuda ini, Coklat. Cari Jeng Fatima dan putrinya sampai ketemu," Pak tua itu berkata pelan. Coklat seolah mengerti apa yang dikatakan tuannya. Berkali  hewan itu meringkik dan mengibaskan ekornya.

Hup! 

Aku melompat ke atas punggung si Coklat dengan sigap. Usai pamit kepada Pak tua, kuhentakkan tali kekang kuda sekuatnya.

Dan kuda pintar itu membawaku melesat menuju ke arah timur.

***

Kali ini aku benar-benar mengandalkan si Coklat untuk memanduku. Ia terus berlari tanpa ragu. Ah, semoga saja hewan ini  benar-benar paham apa yang kuinginkan.

Kami sampai di perbatasan desa. Si Coklat mulai mengurangi kecepatan larinya. Pada persimpangan jalan aku menepuk punggungnya agar ia berhenti.

"Coklat, arah mana yang akan kita pilih? Sebelah kanan menuju hutan. Sedangkan sebelah kiri adalah pemukiman penduduk."

Coklat menjawab dengan ringkikan kecil. Lalu kepalanya meneleng ke arah kanan.

"Kau yakin dengan pilihanmu Coklat?" tanyaku was-was. Pikiranku tertuju pada kedua perempuan itu. Mengapa Coklat memilih arah menuju hutan? Mungkinkah Bunda Fatima dan Cinta tersesat di sana? 

***

Naluri kuda sangat kuat. Setidaknya begitu yang kuyakini pada situasi sekarang. Entah dari mana keyakinan itu datang. Aku hanya bisa merasakannya tanpa mampu menjelaskan.

Manakala si Coklat membelokkan langkahnya ke arah hutan, aku percaya Coklat tidak akan salah memilih jalan. 

Malam kian larut. Kami mulai memasuki wilayah hutan. Suasana sekitar sunyi mencekam. 

Ah, mengapa keadaan ini mengingatkanku pada sesuatu? 

Sekelebat memori melintas remang di depan mataku.

Hutan, malam, kesunyian, pepohonan dan...

Aaarrghh, lagi-lagi memori itu hanya lewat sekilas lalu lenyap begitu saja.

***

Cahaya rembulan tak mampu menembus rerimbun pepohonan. Langkah si Coklat masih terus berderap menuju arah yang tak beraturan. Terkadang ia berbelok ke kanan, lalu menyimpang ke kiri. Sesekali ia berlari lurus mengikuti alur jalan setapak yang beronak duri.

Pada suatu tanjakan yang sulit, si Coklat menghentikan langkahnya. Aku bergegas turun dari punggungnya dan menatap sekeliling.

"Apakah kamu lelah, Coklat?"" aku mengelus lembut kepala kuda itu. Ia meringkik perlahan. Lalu kepalanya menoleh ke sebelah kiri. Seolah ingin menunjukkan sesuatu padaku. 

Dengan keterbatasan pandangan karena gelap, aku mengikuti arah yang ditunjuk si Coklat. Aku terkesiap. Tak jauh dari tempatku berdiri, tampak sebuah gubuk tua yang tersembunyi di antara pepohonan.  

Tanpa berpikir panjang aku segera berlari mendekati gubuk itu. 

Perasaanku membuncah. Dalam hati aku berharap. Semoga kedua perempuan yang tengah kucari itu berada di dalamnya!

***

Gubuk tua itu berukuran sempit. Sungguh, keadaannya sangat mengenaskan. Dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu sudah berlubang di sana sini. Daun pintunya pun sudah reyot.

Perlahan aku masuk ke dalam gubuk tua itu dan mengedarkan pandanganku. Ruangannya sangat gelap sehingga menyulitkan mataku melihat sekeliling. Dengan tangan meraba-raba aku berusaha melangkah maju.

Baru beberapa hitungan kaki, aku mendengar suara mencurigakan. Seketika aku berhenti. Kutajamkan pendengaranku. 

"Uuuuhhh..." terdengar lenguhan panjang. Suara itu berasal dari sudut ruangan.

Aku berusaha merangsek lagi dalam gelap. Bermaksud mendatangi asal suara. Tapi tetiba kakiku tersandung. 

Gubraaaak!

Aku terjerembab.

Belum sempat aku bangun, sebuah pukulan keras mendarat di kepalaku!

Bersambung.....

***

Malang, 30 April 2016

Lilik Fatimah Azzahra

*Karya ini diikutsertakan dalam Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun