[caption caption="Ilustrasi: cornerstonesforparents.com"][/caption]Kisah sebelumnya Â
Usai pamit kepada pemilik rumah kontrakan, Cinta menggamit lengan si kecil. Wajah cantiknya tampak murung.Â
"Rama, kita pulang saja ke rumah Nenek," ia menoleh ke arahku. Aku mengangguk.Â
Sepanjang perjalanan gadis itu hanya terdiam. Langkahnya sesekali tersandung. Â
Hari sudah hampir gelap ketika kami tiba di rumah Nenek. Mata Cinta seketika terbelalak begitu berdiri di ambang pintu. Ia berhambur masuk ke ruang tamu ketika melihat seorang laki-laki tengah berbincang dengan neneknya.
"Papa! Mana Mama? Papa sembunyikan di mana Mama?" gadis itu langsung memberondong dengan pertanyaan begitu tahu laki-laki itu adalah ayahnya.Â
"Apa maksudmu?" laki-laki itu menatap Cinta tajam. Lalu mendadak sontak pandangannya beralih ke arahku.
"Kamu lagi? Dasar pemuda tak tahu diri!" umpatnya geram. Aku berusaha menahan diri agar tidak terpancing kata-katanya.
"Papa! Kembalikan Mama!" Cinta mulai menangis.Â
"Kamu menuduh Papa menyembunyikan Mama kamu?" laki-laki itu mengangkat alisnya.
"Papa boleh mengambil semua barang-barang yang Papa mau. Tapi jangan sakiti Mama!" Cinta semakin terisak.
"Aku tidak menyembunyikan Mama kamu!" suara laki-laki itu mulai meninggi.
"Jika tidak, lalu di mana Bunda Fatima? Bukankah saat aku pingsan, Anda masih bersamanya?" aku ikut bicara.
"Ho-ho, anak muda, begitu melihatmu ambruk, aku langsung pergi!" laki-laki itu tertawa mengejekku.
"Jika terjadi apa-apa pada diri Mama, aku tidak akan pernah memaafkan Papa!" Cinta berteriak sembari berlari masuk ke dalam kamarnya.
Braaak!
Gadis itu membanting pintu dengan keras.
***
Kini aku berhadapan dengan laki-laki kasar itu lagi. Tidak. Kali ini sebisa mungkin aku menghindari agar tidak terjadi kontak fisik dengannya. Bukan karena takut. Tapi aku lebih menjaga perasaan Nenek yang sejak tadi duduk dengan wajah sedih.
"Suki, surat-surat rumah ada di tangan Fatima. Aku sama sekali tidak tahu di mana ia menyimpannya," suara Nenek terdengar pelan.
"Coba nanti ibu cari di antara barang-barang milik Fatima yang di usung kemari. Saya minta tolong, Bu. Saya benar-benar membutuhkan surat-surat itu," laki-laki itu beranjak dari duduknya.
Kulihat Nenek hanya terdiam.
"Bukankah sudah jelas Bunda Fatima tidak menyetujui rumah itu dijual?" aku mengingatkan laki-laki itu.
"Jangan ikut campur urusanku!" laki-laki itu menatapku bengis.
Kalau saja aku tidak teringat keselamatan Bunda Fatima juga perasaan Nenek, ingin rasanya aku menonjok wajah bengis laki-laki itu sekali lagi!
Â
***Â
Laki-laki itu melirik arloji di pergelangan tangan kanannya. Lalu menatap ke arah Nenek sejenak.Â
"Besok saya akan kembali lagi ke sini. Saya harap Ibu sudah menemukan surat-surat rumah yang saya inginkan," ujarnya sebelum pergi meninggalkan kami.
Sekali lagi, perempuan sepuh itu tidak menyahut.
Sepeninggal laki-laki itu, Nenek melambaikan tangan ke arahku. Memintaku supaya mendekat.
"Nak, percayakah kamu pada kata-kata Suki bahwa ia tidak mengetahui keberadaan Fatima?" Nenek menatapku. Aku menggeleng.
"Aku yakin ia berbohong," ujarku seraya duduk di samping Nenek.
"Aku mengkhawatirkan keselamatan Fatima," ucap Nenek dengan suara bergetar. Perlahan ia berdiri. Lalu berjalan tertatih menuju ke kamar Cinta.Â
Saat membuka pintu kamar, kudengar Nenek menjerit tertahan. Terburu aku menghampirinya.
"Ada apa, Nek?" tanyaku was-was.
Nenek tidak menyahut. Jemarinya mendorong pintu lebar-lebar.
Aku melongokkan wajah. Kamar itu kosong. Tak kulihat Cinta di dalamnya.
Mataku tertuju pada jendela kamar yang terbuka.
Gadis itu telah kabur!Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H