"Aku tidak menyembunyikan Mama kamu!" suara laki-laki itu mulai meninggi.
"Jika tidak, lalu di mana Bunda Fatima? Bukankah saat aku pingsan, Anda masih bersamanya?" aku ikut bicara.
"Ho-ho, anak muda, begitu melihatmu ambruk, aku langsung pergi!" laki-laki itu tertawa mengejekku.
"Jika terjadi apa-apa pada diri Mama, aku tidak akan pernah memaafkan Papa!" Cinta berteriak sembari berlari masuk ke dalam kamarnya.
Braaak!
Gadis itu membanting pintu dengan keras.
***
Kini aku berhadapan dengan laki-laki kasar itu lagi. Tidak. Kali ini sebisa mungkin aku menghindari agar tidak terjadi kontak fisik dengannya. Bukan karena takut. Tapi aku lebih menjaga perasaan Nenek yang sejak tadi duduk dengan wajah sedih.
"Suki, surat-surat rumah ada di tangan Fatima. Aku sama sekali tidak tahu di mana ia menyimpannya," suara Nenek terdengar pelan.
"Coba nanti ibu cari di antara barang-barang milik Fatima yang di usung kemari. Saya minta tolong, Bu. Saya benar-benar membutuhkan surat-surat itu," laki-laki itu beranjak dari duduknya.
Kulihat Nenek hanya terdiam.