[caption caption="sumber:ace.antaranews.com"][/caption]Kisah sebelumnya http://fiksiana.kompasiana.com/elfat67/100harimenulisnovelfc-18-sang-pelarian_5705b5b22623bd290fa0a599
Hari kelima
Aku terbangun pagi-pagi sekali meski semalam mengobrol dengan Pak tua hingga larut malam. Hal pertama yang kulakukan adalah mengunjungi si Coklat di kandangnya.Â
Hewan itu meringkik pelan ketika melihat aku membuka palang pintu kandang.Â
"Coklat, bagaimana tidurmu semalam?" aku mengelus lembut kepalanya. Sebagai jawaban ia mengibaskan ekornya berulang-ulang.
Dari kejauhan Pak tua datang membawa seonggok rumput. Aku bergegas membantunya.
"Temani si Coklat sarapan, ya, Nak. Sementara aku membersihkan kandang." Pak tua meraih sapu lidi dan keranjang anyaman yang berada di sudut kandang. Aku mengangguk.
Sembari menyaksikan si Coklat melahap rumput di hadapannya, aku kembali memeriksa paha sebelah kanan hewan itu. Huruf Sansekerta itu masih ada. Masih belum terpecahkan!
"Selamat pagi!" suara Bunda Fatima mengagetkan kami. Kulihat perempuan itu sudah melongokkan wajahnya di ambang pintu kandang. Ia melambaikan tangan ke arahku.
"Ini sarapan kalian," ia menyodorkan bungkusan berukuran besar. Aku berjalan menghampirinya.
"Bagaimana, Rama? Kamu suka tinggal di sini?" ia tersenyum. Aku mengangguk.
"Hari ini Bunda mau menengok rumah. Kamu masih ingin di sini?"
"Jika Bunda tidak keberatan," sahutku.
"Tentu saja tidak. Oh, ya, bagaimana dengan aksara pada paha kanan si Coklat?"
"Mmm, saya belum bisa memecahkannya...."
Bunda Fatima terdiam. Pandangannya tertuju pada si Coklat yang tampak kekenyangan.
"Bunda akan membantu memecahkan misteri ini," ujarnya seraya menepuk pundakku perlahan.
"Aku pergi dulu, ya. Jangan lupa ajak Pak tua sarapan. Nanti sore aku kembali kemari menjenguk anak-anak."
Perempuan itu membalikkan badan dan menghilang dari pandanganku.
Â
***
Usai sarapan Pak tua bermaksud memandikan si Coklat di sungai yang terletak di ujung perkampungan.
"Bisa bantu aku mengeluarkan si Coklat dari kandangnya, Nak?" Pak tua menatapku. Aku mengangguk. Meski awalnya agak kesulitan karena hewan itu membelot, akhirnya dengan sikap penuh kesabaran, berhasil juga aku membawa hewan itu keluar kandang.
"Naiklah ke punggungnya, Nak. Tak usah takut," Pak tua tersenyum ke arahku. Aku segera mengambil ancang-ancang. Dan, hup! Aku sudah duduk manis di atas punggung si Coklat.
"Si Coklat sudah hapal jalan menuju sungai. Kalian berangkatlah lebih dulu. Sebentar lagi aku menyusul," Pak tua menunjukkan lintingan daun jagung kering di tangannya. Aku paham.
Aku menepuk punggung si Coklat perlahan. Kuda itupun mulai berlari menuju ke arah timur.
Letak sungai tak begitu jauh. Hanya memakan waktu beberapa menit untuk sampai di sana. Si Coklat berhenti tepat di bibir sungai yang airnya mengalir jernih. Aku melompat turun. Lalu menuntun kuda itu masuk ke dalam sungai.
Dengan menggunakan sejumput rumput aku menggosok tubuh si Coklat. Kemudian mengguyurnya dengan air berkali-kali. Hewan itu terdiam. Kelihatannya ia menikmati sekali acara mandi di pagi itu.
Setelah yakin tubuh si Coklat bersih, aku menggiringnya ke tepi sungai. Dan mengikat hewan itu di bawah pohon. Saatnya bagiku untuk membersihkan diri sendiri.
Aku berendam berlama-lama di dalam air. Kunikmati setiap aliran yang menyentuh sekujur tubuhku. Terasa segar dan nyaman.
Tetiba sekelebat ingatan melintas. Sungai...berendam....
Ah, aku seperti pernah mengalami hal ini. Tapi di mana?
Kumasukkan kepalaku berkali-kali ke dalam air. Hh, mengapa aku selalu gagal mengingat-ingat sesuatu? Kubenamkan sekali lagi kepalaku dengan kasar.
"Nak, apa yang kamu lakukan?!" suara Pak tua menyadarkanku. Aku mengangkat kepalaku perlahan ke permukaan.
"Mana si Coklat?" Pak tua memicingkan matanya. Kakinya yang kurus menyentuh air.Â
"Saya mengikatnya di bawah pohon. Di sana..." aku menunjuk ke salah satu arah. Tapi sesaat kemudian aku terpekik.
"Astaga! Si Coklat hilang!"Â
Dengan langkah tergopoh aku keluar dari sungai. Meraih pakaianku dan mengenakannya dengan tergesa.
Pak tua sudah terlebih dulu meninggalkan tepi sungai menuju pohon yang kutunjuk. Ia memeriksa tanah di sekitar pohon itu.
"Coklat! Coklat!" aku memanggil kuda itu berkali-kali. Kami berlari ke sana kemari berusaha menemukan keberadaannya. Tapi hingga di ujung desa yang berbatasan dengan persawahan, kami tak bisa menemukannya.Â
Pak tua membisikiku.
"Aneh, si Coklat raib tanpa meninggalkan jejak!"Â
Â
***
Aku menatap Pak tua dengan perasaan bersalah.
"Maafkan saya..." ujarku tertunduk. Lelaki tua itu menepuk pundakku.
"Nak, jangan sedih. Mungkin si Coklat sudah ditemukan oleh pemiliknya."
"Tapi..." tetap saja rasa bersalah mengganjal perasaanku.
"Kita pulang saja, ya, Nak. Siapa tahu si Coklat pulang sendiri ke kandangnya."
Ah, ya. Siapa tahu.
Lega sekali aku mendengar itu.
Â
***
Setengah berlari aku mendahului Pak tua kembali menuju rumah. Pikiranku hanya tertuju pada kuda yang menghilang itu. Sungguh, aku tak akan memaafkan diriku sendiri jika kuda coklat itu benar-benar hilang.
Dan sesampai di depan kandang aku termangu. Pintu kandang dalam keadaan terbuka.
Tak ada si Coklat di dalamnya!
Â
Bersambung....
***
Malang, 12 April 2016
Lilik Fatimah Azzahra
*Karya ini diikutsertakan Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H