Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[100HariMenulisNovelFC](#16) Sang Pelarian

4 April 2016   21:14 Diperbarui: 4 April 2016   21:24 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: sibudikecil.heck.in"][/caption]

Kisah sebelumnya 

Bunda Fatima menghela napas. Pandangannya beralih ke arah jam dinding yang menempel pada tembok ruang tamu. 

"Rama, jika bicara mengenai anak-anak, hatiku terasa tercabut," ujarnya bergetar.

Aku terdiam. Berusaha memahami perasaannya. 

"Untuk sementara terpaksa anak-anak kutitipkan di rumah ibuku. Pasca mendapat perlawanan dariku, hampir setiap hari Suki datang meneror."

"Meneror?"

"Ya, seperti yang kamu lihat tadi. Ia berusaha menggunakan segala cara agar aku mau dipoligami. Ia hampir membuatku gila dan nyaris bunuh diri. Kalau saja malam itu aku tidak menemukanmu di samping jembatan itu...."

"Dipoligami?" aku mengerutkan alis.

"Ah, kamu tidak mengerti ya? Baiklah kujelaskan. Poligami itu istilah bagi laki-laki yang menikahi perempuan lebih dari satu."

"Semacam selir?"

"Begitulah."

"Apakah mantan suami Bunda seorang raja sehingga harus memiliki selir?"

Bunda Fatima tersenyum.

"Banyak laki-laki yang menganggap dirinya adalah seorang raja. Meski sebenarnya ia bukan siapa-siapa. Oh, ya, hari ini aku berjanji bertemu anak-anak. Apakah kamu mau ikut?"

Spontan aku mengangguk.

 

***

Hari sudah beranjak senja ketika kami berangkat meninggalkan rumah. Kami pergi dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan banyak hal-hal aneh yang membuatku bingung. Beberapa orang berlalu lalang menggunakan benda beroda dua dengan bunyi meraung-raung memekakkan telinga.

"Itu sepeda motor namanya. Dan benda lain yang beroda empat itu namanya mobil," Bunda Fatima menjelaskan padaku.

"Aku tidak melihat seekor kudapun di sini," ujarku. Entah mengapa tiba-tiba terlintas dalam pikiranku mengenai hewan berkaki empat itu.

"Kamu ingin melihat kuda? Di sebelah rumah ibuku ada seorang lelaki tua yang memiliki pedati dan seekor kuda. Kamu bisa melihatnya nanti," Bunda Fatima menyahut. Wajahku berseri-seri. 

Kami tiba di sebuah rumah sederhana yang terletak di kampung paling ujung. Seorang perempuan tua menyambut kedatangan kami dengan tergopoh.

Bunda Fatima menyalami perempuan tua itu dan mencium kedua pipinya. Lalu menoleh ke arahku.

"Rama, ini ibuku."

Aku mengangguk dan ikut menyalami perempuan tua itu.

"Siapa anak ini, Fatima?"

"Dia...mm...namanya Rama. Nanti akan kuceritakan. Dimana anak-anak?"

"Mereka ada di ruang tengah. Sedang menonton televisi."

***

Aku mengikuti Bunda Fatima masuk ke dalam rumah. Terdengar suara riuh dari ruang tengah.

"Mama! Mama datang!" seorang bocah kecil berlari menyongsong. Bocah itu langsung berhambur ke dalam pelukan Bunda Fatima.

Disusul oleh ketiga bocah lainnya.

Di antara mereka terdapat seorang gadis yang usianya sepantaran denganku.

Aku terkesiap.

Gadis itu mengingatkanku pada seseorang. Tapi siapa? Lagi-lagi aku tak bisa mengingatnya.

"Rama, ini anakku yang paling besar. Namanya Cinta. Dia duduk di kelas 3 SMP. Dan kedua adik laki-lakinya itu masih duduk di bangku SD. Lalu gadis kecil paling imut dan menggemaskan ini, masih belum sekolah. Ayo perkenalkan namamu," Bunda Fatima menyentuh lembut pipi bocah dalam pelukannya itu.

"Hai, Kak! Namaku Sandra."

"Hai, Sandra, aku Rama."

Bocah kecil itu tertawa riang. Lalu melepaskan diri dari pelukan Bunda Fatima dan berlari kembali ke ruang tengah.

"Nduk, tadi siang Suki datang kemari. Katanya baru bertemu denganmu," perempuan tua di sebelah Bunda Fatima berkata.

"Mau apa dia? Jangan ladeni perkataannya, ya, Bu. Kalau tujuannya mau bertemu anak-anak, biarkan saja."

"Ia bilang akan membawa anak-anakmu."

"Anak-anak sudah diputuskan oleh Pengadilan Agama dalam pengasuhanku. Selain itu, tak akan kubiarkan mereka tinggal bersama ibu tiri."

"Nduk, tampaknya mantan suamimu itu belum ikhlas bercerai darimu."

"Bu, laki-laki itu serakah. Ia bersikeras memiliki dua istri. Sedang ia tahu aku menolak dipoligami."

"Tidakkah ada jalan lain yang bisa ditempuh selain bercerai, Nduk?'

"Semua sudah terjadi, Bu. Tak ada yang perlu disesalkan lagi. Bukankah ibu dulu juga pernah menolak surga yang ditawarkan oleh almarhum Bapak?"

 

bersambung..... 

 

****

Malang, 04 April 2016

Lilik Fatimah Azzahra

*Karya ini diikutsertakan dalam Tantangan 100 Hari Menulis Novel Fiksiana Community

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun