Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[100HariMenulisNovelFC] (#4) Sang Pelarian

18 Maret 2016   08:49 Diperbarui: 18 Maret 2016   09:11 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="sumber:keamanan-global.blogspot.com"][/caption]

*kisah sebelumnya di sini http://fiksiana.kompasiana.com/elfat67/100harimenulisnovelfc-3-sang-pelarian_56e9ed01f69273fe2aeb8ebd

 

........................................................

Derap kuda terdengar riuh.

"Heeaaa...!!! Ada jejak di sini!" seseorang berseru lantang. Rombongan kuda yang tengah berpencar berbalik arah kembali.

"Cepat periksa! Temukan putriku!"

Kuda-kuda pun meringkik lagi.

"Ini bukan jejak manusia, Tuan. Ini jejak harimau!"

"Aku tidak peduli itu jejak siapa! Yang penting temukan putriku!"

"Galuuuh...! Galuuuh Candraaa...! Di mana kamu, nduk? Ini ayah, cah ayuuuu...!"

Rombongan kuda berputar-putar menyusuri tepi sungai. Beberapa penunggangnya sigap melompat turun. Beberapa yang lain menyibak semak belukar dan memeriksa bebatuan.

Sementara seorang lelaki yang menunggang kuda putih mengawasi dari jauh. Wajah lelaki itu tampak murung. Sesekali ia menghentakkan tali kekang kudanya.

"Ayo, Gagak Putih! Bantu temukan ndoromu!" lelaki itu bicara pada kuda putih yang ditungganginya.

Kuda putih itu meringkik panjang. Ringkikannya terdengar sedih.

"Kenapa Gagak? Kamu menyerah?" lelaki itu menepuk punggung hewan kesayangannya perlahan.

"Tuan, di sini kita tidak mendapatkan hasil. Apa sebaiknya kita menyisir tempat lain?" salah seorang pengawal melapor.

"Laksanakan! Ayo menyebar! Galuh harus bisa ditemukan!" 

Serempak derap kuda pun menjauh.

Suasana hutan kembali hening.

Sementara tidak jauh dari tempat kuda-kuda tadi berdiri, di balik semak belukar yang terlindung oleh akar pohon besar, dua sosok remaja meringkuk tak bergerak.

"Mereka sudah pergi. Ayo keluar," bisik Panji Asmara. Galuh menggeleng.

"Kita diam di sini dulu. Ayah dan Gagak Putih pasti sebentar lagi kembali."

Apa yang dikatakan Galuh benar. Sesaat terdengar derap dan ringkik kuda lagi.

"Sst...itu mereka! Jangan bersuara," Galuh menempelkan jarinya pada bibir.

Kedua remaja itu kembali meringkuk. Cukup lama mereka berdiam diri tak bergerak. Sejurus kemudian terdengar langkah kuda menjauh.

"Nah, sekarang kita benar-benar aman!" Galuh menjawil pundak Panji Asmara. Keduanya berdiri lalu keluar dari tempat persembunyian.

"Sebenarnya Gagak Putih mengetahui tempat persembunyian kita. Tapi kuda itu tak mau menunjukkan pada ayahku." Galuh berkata sedih.

"Kuda itu berada dipihakmu?"

"Iya, aku sempat membisikkan padanya untuk menjaga ayah dan merelakan aku pergi."

"Dan ayahmu sosok yang pantang menyerah."

"Ayahku sebenarnya berhati lembut. Cuma karena tuntutan tugas, beliau harus bersikap tegas."

"Apakah ayahmu ikut menyerang Jenggala?"

"Ayahku tidak berada di barisan depan. Ayah bertugas menjaga keamanan wilayah kerajaan Panjalu."

"Syukurlah. Kukira ayahmu ikut membunuh kedua orang tuaku."

"Sudah kubilang ayahku berhati lembut. Membunuh seekor nyamuk pun, ia belum pernah."

"Oh, ya, ngomong-ngomong, perutku sudah lapar. Apakah kamu memiliki persediaan makanan?" Galuh menatap Panji tersipu.

Panji menengok kanan kiri. Lalu pandangannya tertumbuk pada sekelompok hewan yang tengah berkejaran di padang rumput.

"Kamu suka kelinci bakar?" Panji megalihkan pandangannya ke arah Galuh.

"Wah...suka sekali!"

"Kalau begitu, bantu aku menangkap mereka!" Panji pun berlari mengejar hewan-hewan lucu itu diikuti oleh Galuh.

"Dapat! Aku dapat satu!" Panji berseru girang. Pemuda itu membopong seekor kelinci gemuk berbulu putih. Kelinci itu tampak kegelian. Ia menggeliat-geliat tak mau diam.

"Aduh...lucu sekali. Sini biar aku gendong!' Galuh merebut kelinci gemuk itu dari tangan Panji.

"Jangan dibakar, ah. Aku nggak tega. Ia mahluk mungil yang sangat lucu. Lihat! Matanya tak henti berkejap-kejap!" Galuh sibuk mengelus-elus hewan berbulu itu dengan mata berbinar dan senyum sumringah.

Panji Asmara terdiam. Ia terpukau. Alangkah indahnya dua mahluk Tuhan yang tengah berada di hadapannya itu. Seorang gadis cantik dan kelinci putih yang manis. Sungguh suatu perpaduan yang artistik.

Sejenak pemuda itu melupakan bahwa dirinya adalah seorang pelarian yang tengah diburu!  

 

bersambung....

 

***

Malang, 18 Maret 2016

Lilik Fatimah Azzahra

*Karya ini diikutsertakan dalam Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun