Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sayap Cinta #5 (Tamat)

8 Januari 2016   04:33 Diperbarui: 8 Januari 2016   04:33 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Dan biarkan hidup memilih kisahnya sendiri, seperti air mengalir....

***

Roro Wulan menunggu kepulangan Gustav dengan harap-harap cemas. Tak terhitung berapa kali ia mengintip jalanan melalui jendela ruang tamu. Sesekali pula ia melirik ke arah jarum jam yang dirasa berjalan sangat lambat.

"Tuan lembur lagi, ya, Ndoro?" Bik Narti memberanikan diri bertanya. Roro Wulan tidak menyahut. Hanya memajukan bibir mungilnya ke depan sedikit. Sebagai pertanda hatinya sedang kesal.

"Ndoro sudah melaksanakan saran saya?" kembali Bik Narti bertanya. Kali ini Roro Wulan tidak tahan untuk tidak menjawab.

"Bagaimana mau melaksanakan saranmu, Bik. Lah, Mas Gustav pulang ke rumah langsung tidur. Besoknya pagi-pagi sudah berangkat ke kantor."

"Ndoro harus pandai-pandai mencari celah."

"Akan kuusahakan, Bik. Maunya sih malam ini aku mulai melaksanakan saran Bibik itu."

"Semoga berhasil, Ndoro. Eh, itu dia, tuan sudah pulang. Ndoro Ayu siap-siap ya. Sebentar saya buka pintu pagar dulu," Bik Narti berjalan tergopoh menuju halaman.

Gustav berjalan bergegas memasuki rumah. Ia nyaris bertabrakan dengan Roro Wulan yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu.

"Huuueek...." Roro Wulan memegangi perutnya. Gustav yang sedianya akan langsung menuju kamar seketika berhenti. Ia memandang istrinya dengan wajah terheran.

"Kenapa kamu? Masuk angin?" Gustav memicingkan mata.

Bik Narti merangkul Roro Wulan dan mendudukannya di atas sofa.

"Ndoro sakit? Biar Bibik kerokin, ya?" Bik Narti memijit-mijit pundak Roro Wulan. Gustav yang tengah berdiri termangu mau tidak mau akhirnya ikut duduk di samping istrinya.

"Aku panggil dokter ya?" Gustav mulai cemas. Buru-buru Bik Narti menarik lengan tuannya.

"Tuan, mungkin Ndoro Ayu sedang berisi," bisik Bik Narti nyaris tak terdengar.

"Apa, Bik?" Gustav menatap Bik Narti tak mengerti. Bik Narti tersenyum. Lalu perempuan itu memberi isyarat dengan menggososk kedua tangannya di atas perut.

"Hamil maksudmu?" Gustav terperangah. Bik Narti mengangguk.

Gustav memandang wajah Roro Wulan sejenak. Wajah itu terlihat sangat pucat. Kedua matanya terpejam. Laki-laki itu menggeser duduknya. Tangannya terulur. Ia hampir menyentuh rambut istrinya ketika tiba-tiba mata Roro Wulan terbuka.

"Mas, aku ingin istirahat di kamar," Roro Wulan beranjak. Seketika Gustav menarik tangannya kembali.

 

***

Di luar langit membentang cerah. Rembulan tersenyum malu-malu memamerkan keelokannya. Sesekali pantulan cahaya keemasan menyelinap masuk melalui jendela yang tirainya tersingkap sedikit. Demi menjadi saksi dari berbagai kisah kehidupan anak manusia.

Tak terkecuali malam ini.

Dalam sebuah kamar, seorang perempuan tengah berupaya menenangkan suaminya yang merajuk. Ya, Anin membiarkan Ryan melampiaskan rasa kecewa dan cemburu dalam pelukannya. Ia memahami betul kondisi labil suaminya.

Di sebuah kamar lain, seorang perempuan tertidur pulas dalam pelukan hangat suaminya. Pelukan yang bertahun ia impikan. Meski untuk mendapatkannya ia rela melakukan sesuatu yang sangat memalukan. Berbohong. Ya, Roro Wulan sedang memainkan perannya. Sementara sang suami tak henti mengelus perut istrinya yang sesungguhnya belum berisi apa-apa.

Rembulan pun tergugu. Menyaksikan kisah yang selalu berulang. Kisah tentang cinta, pengorbanan, godaan, ketakutan juga harapan.

 

 ***

Dua bulan berselang. Seorang laki-laki dengan bantuan tongkat penyangga berlatih berjalan di sepanjang teras rumah. Laki-laki itu belum sembuh benar dari kelumpuhan. Namun ia gigih berjuang. Ia ingin dunianya kembali. Tanggung jawab sebagai seorang suami harus direbutnya lagi. Barangkali semangat hidup yang kuat itulah yang membantu mempercepat proses penyembuhannya.

"Mas, aku berangkat," Anin mencium lembut tangan suaminya. Ryan menggenggam erat jemari istrinya. Sebuah genggaman yang mewakili perasaannya. Perasaan seorang suami yang mempercayakan cinta dan kesetiaan untuk selalu dijaga.

Nun di sebuah ruang tunggu Rumah Sakit, seorang suami memeluk erat pundak istrinya. Di sampingnya duduk wanita sepuh yang tak henti menebar senyum sumringah. Wanita itu terlihat paling bahagia. Karena dalam rahim menantunya, Roro Wulan, telah bersemayam bayi mungil yang selama ini dirindukan.

"Nyonya Gustav, giliran Anda," seorang suster memanggil. Gustav mengulurkan tangan. Memapah istrinya memasuki ruang periksa.

Ah, tidak ada yang bisa memahami dunia ini. Ketika sandiwara benar-benar terjadi. Siapa sangka Roro Wulan ternyata hamil sungguhan? Begitulah hidup. Banyak sekali memberi kejutan.

 

Bukankah sebuah pernikahan itu ibarat sepasang burung

yang siap mengangkasa dengan semasing hanya memiliki satu sayap?

Untuk bisa terbang mencapai tujuan

keduanya harus bergandeng erat dan saling melengkap

Menjaga keseimbangan, selaras dan seirama

Andai salah satu sayap merasa lelah

atau terkulai karena luka

Hendaklah sayap yang lain mampu menjadi penguat

sekaligus pengobat

agar mahligai cinta selalu beroleh rahmat

 

Entah hati siapa yang berbisik demikian.....

 

Tamat

 

***

Malang,08 Januari 2016

Lilik Fatimah Azzahra

*Sumber gambar:plus.google.com

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun