Lilik Fatimah Azzahra, No. 122
Seperti biasa, wajahmu kaku memandang tepi senja. Tak kau hiraukan hadirku. Tak kau sapa aku dengan ujung senyummu.
Seperti biasa pula, langit senja terburai awan semburat merah. Kau masih berdiri angkuh. Meski sudut matamu mulai meramah.
Hinga kuberanikan diri membuka tanya.
"Tak adakah ruang bagiku?"Â
Kau menggeser langkah. Mendekat. Terasa degup jantung berpacu tanpa birama. Bahkan saat lengan kokohmu meraih jemariku, aku tersulut mimpi.
"Jangan merayuku," bisikmu sembari melempar tatap penuh harap. Aku tak mampu menjawab. Tapi aku mengerti. Bahkan lebih dari sekedar mengerti.
"Che..." suaraku tercekat.
"Maafkan aku, ruang ini telah terisi." Perlahan kau sentuhkan jemariku di dadamu. Tiada degup terdeteksi.
"Aku tahu ini menyakitkan." Mata elangmu menyambar sendu. Aku terkulai. Bibir terkatup tak mampu meramu kata.
"Lupakan aku. Anggap saja aku tak pernah ada...."
Usai sudah perbincangan senja itu. Awan merah dan kerling mentari menjadi saksi bisu.
***
Langit kian temaram. Sedetik sebelum pergi, kau bergumam," jangan jatuh cinta lagi padaku, ya..."
Wajah garangmu melembut. Selintas mengangguk. Anggun. Hidmat. Bagai ksatria menang berlaga. Gagah. Langkahmu mengayun menembus batas waktu.
***
Laki-laki itu, aku memanggilnya Che. Seorang kembara yang melintas dan tersesat di dimensi waktu. Kini ia harus kembali tanpa bisa kucegah. Bersama senja merah saga ia pergi membawa separuh hati. Tinggalkan aku dalam labirin hening dan halimun sepi.
Geming. Air mata pun luruh.
Duh, Gusti, sulit nian mengurai pikat....
Ah, Che, baiklah, aku mengaku kalah.
Kau telah meluluh lantakkan rasaku. Memporak porandakan tatanan batinku.
Che....
Padamu, kutitipkan cinta....
***
NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
     Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H